Conversation

358 60 0
                                    

Kata Sehun, mobil favoritnya adalah Audi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kata Sehun, mobil favoritnya adalah Audi. Kendaraan roda empat itu nyaman dalam beberapa segi, di antaranya; nyaman untuk badan, nyaman dibawa kebut, juga nyaman untuk melakukan hal tak senonoh. Aku mengangguk saja. Menghargai seleranya.

Kami baru kenal beberapa jam yang lalu. Dan di sinilah aku berada, di dalam mobil kesayangannya yang mengangkut beberapa barang pribadiku. Aku memang sebodoh ini untuk percaya pada orang asing.

Sehun ingin aku tinggal di apartemen miliknya. Dia tidak ingin kerepotan jauh-jauh menjemputku untuk menagih imbalannya. Awalnya aku menolak, tetapi Sehun bilang dia mengizinkan aku pulang ke rumah satu kali dalam dua minggu. Menurutku, tidak buruk juga tinggal bersamanya toh lokasi apartemen Sehun lebih dekat dengan kampus. Aku bisa lebih menghemat.

Tidak banyak yang kubawa. Satu koper cukup menampung beberapa pakaian, buku paket dan diktat, juga yang lain.

"Kau yakin cuma ini?" tanya Sehun sewaktu melihatku menarik koper sedang ke depan pekarangan rumah.

Aku mengangguk. Walau Sehun terlihat ragu, dia tetap mengangkutnya ke bagasi mobil.

Yang menarik, Sehun tidak banyak tanya sepanjang perjalanan. Aku tidak terlalu suka berbincang. Jadi, keheningan yang melanda kami merupakan kenyamanan lain. Aku menatap jendela, memperhatikan bangunan yang terlewati. Yang paling sering muncul adalah resto. Mungkin karena termasuk wilayah kota dan rata-rata dihuni para pemuda-pemudi. Tempat yang strategis untuk dijadikan bisnis. Kalau aku punya uang banyak, aku juga akan mendirikan rumah makan di dearah sini.

Selain resto, sisanya cuma gedung sauna, apotek, bank, motel, juga penjual jajanan kaki lima.

Apartemen Sehun berjarak dua gedung dari kampus. Tidak perlu naik bus, ditempuh jalan kaki lima belas menit pun sudah sampai. Yang tak kusangka, isi tempat tinggalnya tergolong rapi untuk ukuran seorang lelaki. Kata Sehun, apartemennya memang jarang dihuni. Dia memperkerjakan petugas kebersihan yang datang tiap sore. Katanya juga, aku bebas melakukan apa saja di sini. Dia ingin aku menganggap apartemen ini milikku sendiri.

Ada dua kamar di sini. Namun, Sehun bilang kamar satu lagi sudah diisi barang-barang kesukaannya. Jadi, aku harus meletakkan semua barangku di kamar yang sama dengan Sehun.

Pria itu membantuku meletakkan barang-barangku. Padahal aku sudah berkata tidak perlu, toh tinggal di sini cuma sementara. Wajah Sehun keruh, aku terpaksa mengeluarkan semua barang agar Sehun tidak marah.

Sejauh ini, Sehun sebenarnya pria yang baik. Hanya saja, dia terkadang otoriter, keras kepala, dan tidak suka ditentang. Setelah membuatku kesal dengan ucapannya tentang perjanjian, dia mengakhiri peran usilnya dan menanyaiku apakah aku masih ada kelas atau tidak. Kujawab tidak ada, dan Sehun mengatakan maksud bahwa dia ingin aku tinggal bersamanya.

Aku di sini. Berbaring bersama Sehun di kasur empuk yang besar. Selimutnya tebal dengan warna putih. Aku bisa bersembunyi di baliknya tetapi nyaman. Setelah beres-beres, mandi, lalu makan, Sehun mengajakku tidur. Omong-omong, pria itu punya bahan makanan yang cukup lengkap di lemari pendingin. Katanya, tidak perlu sungkan jika aku menginginkan apa pun di apartemen ini.

Tatapanku tertuju pada plafon. Aku belum berani menoleh pada Sehun karena malu. Dia memperlakukanku dengan baik tetapi aku masih ingat perjanjian yang mengatakan dia menginginkan tubuhku. Memang tidak spesifik, sih. Apa Sehun takut menyakitiku makanya dia diam seperti ini?

Bagiku, janji tetaplah janji. Aku harus menepatinya sekali pun itu melanggar norma.

Aku memberanikan diri menggerakkan tubuh agar berbaring menyamping, menghadap Sehun yang ternyata sedang menatapku.

"Apa kau memang senaif ini mengikuti omongan orang lain?"

Itu, pertanyaan yang tak terduga. Aku merasa sedang dinasihati mama. Dan biasanya, aku menunduk lemas dengan tangan saling tertaut. Itu yang sedang kulakukan.

"Kau bahkan tidak tahu nama lengkapku. Tidak tahu apa-apa tentangku. Aku bisa saja meracunimu lewat makanan tadi. Apa kau memang selemah ini sampai tidak sanggup menolak dan bisanya menghindar?"

Jujur, aku sakit hati mendengarnya. Dia kan yang memaksaku tinggal. Dia yang meminta. Kenapa aku yang disalahkan sekarang. Kata mama, kalau aku menuruti kemauan orang lain, aku akan disenangi banyak orang. Apa ini tidak berlaku untuk Sehun?

"Memangnya kau mau membunuhku?" Aku bertanya murni penasaran. Bukan bermaksud menantangnya.

"Aku bisa melakukannya. Sekarang juga asal kautahu."

"Kenapa?" tanyaku lagi. "Kenapa kau mau membunuhku?"

Sehun tidak menjawabku. Aku menunggu suaranya mengudara. Dalam kesunyian sementara itu, tangan Sehun perlahan menyelinap dan mengangkat tanganku ke luar selimut. Dia menautkan jemarinya padaku hingga perbedaan ukuran terlalu mencolok untuk dilewatkan. Punggung tangan Sehun dua kali lipat jika dibandingkan punyaku. Aku lurus kering sementara Sehun terlihat sehat bahkan uratnya seperti meronta ingin lepas dari kulit. Satu-satunya persamaan ialah warna kulit kami.

"Karena kau terlihat lemah dan tidak berguna. Itu alasanku ingin membunuhmu." Sehun mengeratkan genggaman. Aku memperhatikan gerakannya yang tampak memberi tanda bahwa aku berada dalam kuasanya. "Tapi membunuhmu tidak seru karena memang itu yang kau inginkan tanpa sadar."

Sehun salah. Aku tidak ingin mati. Aku ingin hidup. Kalau memang benar, aku tidak akan lari dari Margarit.

"Mengapa kau berpikiran seperti itu?" Aku menatap Sehun tepat di pupil kelamnya. Penasaran mengapa dia sampai pada kesimpulan aneh.

Tangan Sehun yang bebas terulur, mengelus pipi kananku lembut. Telunjuknya bergerak memutari plester yang menutupi luka gores di dekat sudut mataku.

"Karena kau membiarkan dirimu dilukai orang lain. Kau bahkan pasrah ketika aku mencumbumu berulang kali. Kau bahkan tidak peduli jika aku menyetubuhimu sore tadi di kampus."

Sehun ini buta atau apa ya. Aku kan berontak tetapi kalah tenaga darinya. Dia pikir aku sengaja melakukannya?

Dan sekarang, mulutnya yang tak sopan mendarat lagi di bibirku. Mataku terpejam. Sedang merasakan gerakan bibirnya yang menyesap milikku bergantian, atas dan bawah. Lidahnya sesekali menjilat.

"Lihat?" katanya setelah menjauhkan diri. Mataku perlahan terbuka. Aku mengulum bibirku yang basah. Rasanya aneh tapi aku menyukainya.

"Aku kan mengikuti kesepakatan kita," ucapku setelah bisa menetralkan deru napas. "Itu, pu-pussy swear katamu."

Sehun tampak kosong beberapa saat. Apa aku salah bicara? Dia mendengkus lalu menggelengkan kepala.

"Kau yakin ibumu seorang pelacur?" Sehun mengamati wajahku dengan kerutan di dahi. Seolah-olah sedang mencari-cari sesuatu. Meski aku lebih fokus pada kalimatnya. Dia tahu ibuku. Apa seisi kampus mengetahuinya? Apa aku dan status ibuku seterkenal itu?

"Apa hubungannya kesepakatan kita dengan status ibuku?" tanyaku bingung.

"Ada. Kepolosanmu atau mungkin kau berpura-pura bodoh."

Sehun terlihat tidak sabar. Apa dia marah?

"Aku?" tunjukku pada diri sendiri.

"Ya. Kau dan kepolosanmu." Sehun berdecak. Dia melepaskan tautan jemari dan beralih menarik kepalaku ke dadanya. Merengkuh tubuhku ke dekapan hangat. "Sebaiknya kau jangan mengeluarkan sepatah kata lagi dan tidur sebelum aku marah besar."

Sehun benar tentang aku yang lemah. Aku memang mudah terintimidasi. Aku tidak ingin membuat orang lain marah. Jadi, aku hanya diam menerima perintah Sehun seraya menutup mata. Indera pendengaranku menangkap detak jantung Sehun yang beraturan, sementara penciumanku diisi oleh aroma Sehun yang sangat khas. Kedua objek itu menjadi pengantar tidur sempurna yang baru kualami.

Sayup-sayup kurasakan jemari Sehun mengusap puncak kepalaku secara berkala sebelum aku berada di ujung batas kesadaran.

"Dasar bodoh."

×××

To be continue

Adiksi || Hunrene [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang