Mata Ervi menatap kosong pintu kaca warung kecilnya. Sejak pagi, baru beberapa saja pengunjung yang datang. Membuatnya frustrasi dengan keadaan yang tak kunjung membaik, jika terus seperti itu, kapan hutang-hutangnya bisa lunas? Apa nanti dia bisa membayar uang kuliah tepat waktu? Masalah itu terus membuat Ervi membatin pilu. Dua kantong besar berwarna putih di meja kasir menjadi sedikit hiburan. Ya, tadi Ardan mengirim chat kepadanya untuk memesan makanan dalam jumlah banyak lagi.
Pandangan Ervi beralih ke laptop di depannya yang masih menyala. "Nadira nggak bawa ponsel dan laptop, dia kuliah pakai apa ya?" Ia berpikir cukup lama, "Apa dia makai ponsel temannya dan temannya memakai laptop?" tebaknya, "Ah, seandainya saja pandemi ini tidak ada, mungkin semuanya akan baik-baik saja sekarang."
Pintu kaca warung Ayam Renyah Ervi terbuka, gadis itu seketika menoleh untuk melihat pengunjung yang datang. Seorang laki-laki bermasker hitam dengan rambut sedikit berantakan masuk di sana. Ervi lekas berdiri, ia tahu itu Ardan yang menjemput pesanannya.
"Kamu datang lebih cepat dari yang kuduga," ucap Ervi berbasa-basi.
"Kamu bicara seperti sudah tahu saja dimana kantorku berada."
Ardan segera menghampiri meja kasir, berhadapan langsung dengan Ervi yang sudah berdiri di sana. Gadis itu tengah menghitung pesanan Ardan dengan kalkulatornya.
"Kamu belum menghitungnya?" tanya Ardan.
Ervi menggeleng pelan dan terus fokus dengan kalkulator yang ia pegang. Tiba-tiba saja Ardan mengulurkan tangan kepadanya. Membuat kegiatan Ervi terhenti karena tangan Ardan tepat berada di atas kalkulator yang ia lihat—tepat di depan mata Ervi yang menunduk ke bawah.
"Aku Ardan, kita belum berkenalan, kan?" ucap Ardan dengan ramah.
Ervi mengangkat kepala, memperhatikan mata Ardan yang lembut menatapnya. Ia menyambut tangan Ardan dengan ketus. "Ervi."
"Aku sudah tahu namamu dari Nadira." Ardan menarik tangannya dari salaman Ervi agar gadis itu dapat fokus kembali menghitung. Ia memperbaiki posisi maskernya, memastikan luka memar yang ia dapatkan dari Erwin tidak terlihat oleh Ervi.
"Nadira lagi kuliah di rumah temannya," sahut Ervi dengan datar.
"Berarti itu tugasmu kan, Vi?" Ardan menunjuk laptop Ervi di meja, membuat gadis itu ikut menoleh ke arah Ardan menunjuk.
"Tugas akhirku, lagi revisi." Ervi menjawab dengan ketus dan kembali fokus dengan kalkulatornya. Ia kemudian mengangkat kalkulator itu dan memperlihatkan kepada Ardan jumlah yang harus dibayar laki-laki itu.
Angka 487.000 tertera disana.
"Wah, wah, kenapa nanggung terus jumlahnya, kalau bisa bulatkan saja lima ratus gitu."
Ervi tak menanggapi celotehan Ardan. Ia hanya memperhatikan laki-laki itu mengeluarkan lima lembar seratus ribu dari dalam dompet, lalu memberikannya kepada Ervi. Ardan memperhatikan wajah Ervi yang tampak kusut saat menerima uang yang ia berikan.
"Apa kamu masih belum mau berbagi bebanmu denganku, Vi? Setidaknya berceritalah untuk mengurangi beban di pundakmu."
Apa yang diucapkan Ardan membuat Ervi melotot tajam. Nafas gadis itu menderu, menandakan kekesalannya. Mereka hening sejenak, menyisakan denyitan kipas angin yang berputar di langit-langit warung itu.
"Kita sudah berteman, kan? bukankah berbagi beban dengan teman itu adalah hal yang wajar?" Ardan memecahkan kesunyian mereka.
"Sejak kapan kita berteman, ha?" tanya Ervi.
"Sejak berkenalan barusan. Apa kamu sudah lupa? kita tadi berjabat tangan."
Ervi mengembuskan nafas kesal, lagi-lagi ia kalah argumen dengan Ardan. "Kamu sudah tahu semua masalahku dari Nadira, dia sudah menceritakan semuanya kepadamu."
![](https://img.wattpad.com/cover/332897594-288-k607579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)
Romance( T A M A T ) Terkadang Tuhan membantu kita yang tengah kesusahan dengan mengirimkan malaikat dalam wujud manusia. Ia hadir begitu kita tengah kesusahan dan menghilang seiring kesusahan itu pergi. Ini bukan tentang malaikat sesungguhnya, tapi manusi...