Pagi itu Nadira sudah bersiap-siap, ia mandi pagi sekali. Lalu memakai baju kemejanya, motif kotak-kotak merah putih dengan tambahan balutan sweater merah muda sebagai luaran. Selesai dengan pakaian, Nadira beranjak menyisir rambut di depan cermin. Menghias wajahnya dengan make up tipis. Serta tak lupa membiri lipstik natural di bibirnya. Gadis itu kemudian memakai sepatu kets, memasang kaus kaki merah muda kesukaannya lebih dulu.
"Kamu mau kemana, Dir?" tanya Ervi yang baru saja bangun dari tidur. Ia menatap curiga kepada sang adik yang tidak seperti biasanya—sudah siap-siap sejak pagi.
"Ke rumah teman, Kak. Aku kuliahnya disana aja, ada wifi, jadi hemat paket," jawab Nadira tanpa beban.
"Rumah teman?"
"Iya, agar kakak bisa fokus buat revisian, udah beberapa hari, belum selesai juga, kan?"
Ervi beranjak bangkit dari tempat tidurnya. Ia menuju cermin untuk merapikan rambutnya yang kusut. "Kalau kamu pergi, malah kakak yang jaga warung sendirian."
"Nggak apa-apa, kan?" Nadira mengangkat kepala, menjeda sejenak kegiatannya memasang tali sepatu. "Lagian pengunjung warung kita juga sedikit. Kalau aku di rumah teman, Uang buat beli paket bisa kita simpan untuk bayar hutang."
"He, truss kamu ke rumah temanmu nggak perlu ongkos?" Ervi menoleh kepada sang adik dengan wajah sebal.
"Perlu, Kak, tapi tidak sebanyak beli paket, jadi bisa lebih hemat. Udah, ah. Aku pergi dulu, nanti terlambat sampai di sana, kuliahku jam delapan lagi," jawab Nadira seraya memperhatikan jam dinding di kamar mereka yang sudah menunjukan pukul enam kurang lima belas menit.
Ervi melihat kepergian Nadira dengan wajah lesu. Ia beralih ke jendela, membuka tirainya dan memperhatikan langit yang mulai terang. "Semoga hari ini bisa laku banyak," lirihnya penuh harap.
Sesaat kemudian Ervi beralih ke lemari mereka yang berseberangan dengan posisi jendela. Ia mengeluarkan kotak merah tempat biasa menyimpan uang dari sana. Diambilnya dari sela-sela pakaian Nadira yang terlipat rapi. Ervi mengeluarkan uang yang tersimpan di kotak itu. Ia duduk di ranjang mulai menghitung berapa simpanan mereka.
Dua juta tujuh ratus ribu lebih. Cukup banyak, tapi jika dihitung sejak saat ayahnya mengambil uangnya di meja kasir terakhir kali, jumlah itu masih sangat sedikit. Sudah dua bulan berlalu, jumlah uang yang terkumpul baru segitu—belum lagi sebagian uang juga akan ia pakai untuk membeli bahan baku keperluan warungnya. Padahal sebelum pandemi ia bisa mengumpulkan hasil berkali-kali lipat dari itu.
"Ini untuk bayar uang Bu Tini atau sewa warung dulu ya?" tanya Ervi pada dirinya sendiri.
Bahkan pertanyaan itu saja tidak bisa ia jawab, keduanya sama-sama penting untuk dibayar. Bu Tini akan mengirim uang tersebut ke Jakarta untuk kuliah anaknya, akan sangat jahat rasanya jika Ervi tidak segera membayar hutang tersebut. Karena dirinya orang lain juga harus kesusahan. Tapi jika membayar hutang kepada Bu Tini lebih dulu, lalu bagaimana dengan warung yang telah lama ia rintis? Ia juga tidak ingin kehilangan warung itu jika Bu Risma datang mengusirnya.
"Oh, Tuhan, kenapa semuanya harus serumit ini?" lirih Ervi mereguk rasa kecewa yang ia rasakan.
Gadis itu kembali menyimpan uang itu ke dalam lemari. Ia bangkit dari ranjang dengan lemah. Memikirkan masalah hutang sudah membuat kepalanya pusing, sekarang revisian juga harus segera dikerjakan agar bisa bimbingan kembali dengan dosennya.
Hari itu mungkin menjadi hari berat berikutnya untuk Ervi. Bagaimana tidak? Siang saat ia tengah sibuk-sibuknya membuat revisian di salah satu meja, Bu Tini datang hendak menagih hutang. Perempuan paruh baya itu melangkah kesal menghampiri warung Ervi. Ia mendorong pintu kaca warung tersebut dengan kasar. Waktu sebulan yang diberikan kepada Ervi sudah lewat, dan ia sama sekali tidak pernah datang untuk mengembalikan hutang tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)
Romance( T A M A T ) Terkadang Tuhan membantu kita yang tengah kesusahan dengan mengirimkan malaikat dalam wujud manusia. Ia hadir begitu kita tengah kesusahan dan menghilang seiring kesusahan itu pergi. Ini bukan tentang malaikat sesungguhnya, tapi manusi...