Bagian 35

38 7 0
                                    

Malam itu cuaca mendung di langit Pekanbaru. Bintang tak terlihat di langit, juga bulan yang bersinar terang tak tampak rupanya seperti apa. Mendungya langit sama mendungnya dengan hati Ervi dan Nadira. Juga seperti mendungnya hati Ardan yang masih terbawa suasana sedih mengingat hubungannya dan sang ayah, juga kehidupan pilu yang harus dijalani sang ibu.

Malam itu Ardan baru pulang bersama Ervi dari taman. Saat sampai di gedung kosnya, Ardan memilih berdiri di ujung lorong lantai dua kos-kosannya, menghadap ke jalan, melihat langit mendung dengan sempurna dari sana. Semua kenangan itu berputar dalam ingatan. Tentang sakit yang tak pernah ada obatnya, hingga ia hanya bisa berdamai dan memaafkan. Ardan mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi email yang ada disana. Melihat belasan bahkan ratusan email yang ia kirim ke alamat email sang ayah. Alamat email tersebut ia dapatkan dari data dosen kampus sang ayah yang berhasil ia unduh dari internet.

Satu persatu email itu dibuka oleh Ardan. Email pertama ia menyapa sang ayah, mengenalkan dirinya sebagai anak dari ibunya. Buah cinta sang ayah dan ibunya, tapi email itu tak berbalas sama sekali. Email kedua, Ardan mengabarkan bahwa ia tengah menempuh kuliah S1 di kampus ternama yang terletak di Kota Padang, kampus tempat ayahnya dulu berkuliah. Namun nasib email itu sama, tak berbalas sama sekali.

Email ketiga dan seterusnya, Ardan terus bertanya kabar sang ayah, mengabarkan IPK-nya yang cukup tinggi. Serta kesehatan ibunya yang menurun di kampung. Hingga air mata Ardan jatuh, menetes tak tertahan saat membuka email kepada sang Ayah dulu. Mengabarkan bahwa sang Ibu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Menjemput perjanjian mulia dengan Sang Pencipta. Tapi tetap email itu tak berbalas sama sekali.

Hari itu sungguh sangat memilukan. Ardan pulang ke rumahnya di Tanah datar. Tempat ibunya mengasingkan diri dari keluarga besarnya. Membawa air mata yang tak kunjung berhenti sejak ia mendengar kabar itu di Padang. Detik-detik itu amat menguras emosi, saat ia melihat sang ibu dimandikan, dikafani, dan ia mengimami sholat jenazahnya. Ardan melaluinya seorang diri, tanpa ada kehadiran sang ayah yang sangat ia harapkan, pun keluarga lainnya yang membantu. Ardan hanya seorang diri disana, mengantarkan sang ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Hingga detik-detik saat Ardan mengangkat keranda sang ibu ke pemakaman, ia tetap sendiri menanggung beban kehilangan.

Ardan masuk ke liang kubur, menyambut jasad sang ibu yang terbujur kaku. Memposisikan jasad sang ibu di liang lahatnya. Tak lupa, Ardan mengecup sang ibu dari balik kain kafan untuk terakhir kali. Meminta maaf atas segala dosanya, mengatakan betapa sayangnya ia kepada sang ibu, hingga ia berjanji, akan menjadi anak seperti yang ibunya inginkan.

Jauh sebelum itu, saat Ardan duduk di beranda gubuk kecil rumahnya bersama sang ibu. Saat ia masih bersekolah di bangku SMP, masa dimana ia bersekolah ke Batu sangkar yang memakan waktu hingga satu jam berjalan kaki dari nagarinya. Masa itu, mereka duduk bersama melihat sawah yang menguning. Orang-orang sibuk mengusir burung, menarik tali untuk menggerak-gerakan orang-orangan sawah. Juga membunyikan kaleng-kaleng bekas yang mereka susun sedemikian rupa.

"Seperti apapun kehidupanmu nanti, jangan pernah membenci siapapun. Termasuk ayahmu, Dan. Jika ada kesempatan, carilah ayahmu, dia berhak tahu akan dirimu yang sudah tumbuh besar. Ayahmu orang baik, Dan, hanya adat saja yang memaksanya harus meninggalkan kita seperti ini" ucap sang ibu kala itu.

Ardan menoleh, saat itu ia sudah tahu nama sang ayah, dan apa pekerjaannya.

"Ayah meninggalkan kita, Bu, dia tak menyayangi kita, bukan karena adat. Aku membenci orang seperti dia, tidak punya hati sama sekali."

"Ssttt!" Sang Ibu memotong kalimat Ardan, "jangan hidup sebagai pendendam yang menyimpan rasa benci, Nak. Ibu tidak suka, hiduplah seperti para leluhur kita di Luhak ini, menebar kebaikan, membangun nagari dan peradaban. Mengembangkan adat dan budaya. Mereka hidup untuk mengabdi, berkorban dan berjuang demi anak dan kemenakan. Bukan hidup untuk rasa dendam dan rasa benci."

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang