Saat matahari sepenggalan naik dari ufuk timur. Juga saat Ervi bermenung sendiri, bermasam muka melihat pintu warungnya yang belum juga ada pengunjung yang datang. Saat itu Ardan datang mengunjungi gadis itu. Mungkin tidak akan ada juga kata perpisahan dengan Ervi. Setidaknya Ardan ingin melihat gadis itu sebelum pergi meninggalkan Kota Pekanbaru.
Kehadiran Ardan disana dapat membuat wajah Ervi yang masam sedikit tersenyum. Gadis itu tampak senang melihat Ardan yang tengah mencuci tangan di depan pintu kaca warungnya. Laki-laki itu menurunkan masker hitamnya, kemudian mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam. Ia tersenyum melihat Ervi yang ramah melihat kedatangannya.
"Apa kamu sedang menungguku?" tanya Ardan dengan setengah bercanda.
Ervi mencibir, ia berdiri dari meja kasir, menghampiri Ardan dan mencubit lengan laki-laki itu dengan gemas.
"Nggak usah kepedean gitu!" Ervi balas mengejek.
"Oh, jadi kamu menunggu siapa? kekasihmu itu?"
"Hei! kami sudah putus, dia bukan kekasihku lagi!" ucap Ervi dengan tegas, sebal dengan penuturan Ardan barusan.
"Tapi bisa jadi dia masih mengharapkanmu, kan? Bisa jadi juga dia masih terus mengawasimu, dan tahu kalau beberapa waktu belakangan ini kita jalan berdua."
Ervi terdiam sejenak, menelan ludah. Jika itu benar, ia akan amat senang. Setidaknya Erwin menyesal telah putus dengannya. Tapi di sisi lain ia tidak ingin kembali lagi kepada laki-laki itu. Kata-kata Nadira kemarin benar, kehadiran Erwin sebenarnya hanya membuat kerugian bagi mereka.
"Terserah dia mau melakukan apa, aku nggak peduli. Lebih baik aku memperbaiki hidupku, berjuang untuk hidupku dan adikku, bukan untuk dia," jawab Ervi beberapa saat kemudian.
Ardan menarik kursi terdekat dengan meja kasir dan duduk di sana, diikuti Ervi yang beranjak dari kasir untuk duduk di depan Ardan.
"Benarkah? Bukannya perempuan paling sulit untuk move on dari sebuah hubungan yang panjang?"
Ervi menatap lekat mata Ardan. "Mungkin iya, tapi tidak bagiku. Aku merasa perasaan ini tidak benar, Dan. Tapi jujur, sejak dekat denganmu, masalah Erwin dapat kuhapus dengan cepat. Aku tidak bersedih dan galau terlalu berlebihan karena kamu selalu ada untuk membuang perasaan itu dariku, dan aku bisa fokus dengan pekerjaan untuk mengumpulkan uang dan membayar semua hutangku."
Ervi melihat Ardan dengan mata berkaca-kaca. "Biarkan rasa nyaman ini tetap di hatiku, Dan. Aku bersyukur mengenalmu, merasakan sosok ayah yang selama ini tidak pernah aku miliki."
Ardan tertawa, menganggap Ervi hanya bercanda, sekalipun ia tahu gadis itu amat serius dengan perkataannya.
"Apa kamu lupa dengan adikmu, Vi? Kamu memintaku untuk menjadi tempat hatinya bersandar, kan? Jika adikmu tahu kamu nyaman denganku, dia bisa cemburu buta."
Tangan Ervi mengusap matanya yang terasa perih. "Aku hanya ingin kamu tahu apa yang kurasakan, Dan. Aku senang, aku benar-benar merasa memiliki ayah, abang dan teman karena kebaikanmu."
Ardan menelan ludah, kali ini ia tidak ingin bercanda lagi. "Kamu sudah tahu kehidupanku seperti apa, Vi. Aku tidak mau ada orang lain yang merasakan sakit yang kurasakan. Menderita karena keegoisan orang tua yang tidak memikirkan anak-anak mereka. Aku ingin berteman denganmu dan Nadira agar bisa meringankan beban kalian, walau hanya sekedar menjadi tempat kalian berkeluh kesah."
" Dan juga jangan paksa aku untuk lebih dari ini kepadamu dan Nadira, karena seperti yang aku bilang kepadamu. Aku belum selesai dengan diriku sendiri, Vi. Lebih baik seperti ini saja, karena aku yakin, banyak orang yang jauh lebih baik dariku yang lebih pantas untuk kalian."
![](https://img.wattpad.com/cover/332897594-288-k607579.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)
Romansa( T A M A T ) Terkadang Tuhan membantu kita yang tengah kesusahan dengan mengirimkan malaikat dalam wujud manusia. Ia hadir begitu kita tengah kesusahan dan menghilang seiring kesusahan itu pergi. Ini bukan tentang malaikat sesungguhnya, tapi manusi...