Berbulan-bulan telah berlalu sejak pemerintah menarik tuas kebijakan mengatasi pandemi yang menyerang dunia. Kegiatan masyarakat dibatasi, arus kendaraan antar daerah juga dikawal, jangan sampai virus berbahaya itu menyebar tak terkendali. Aturan diperketat, masker wajib digunakan. Sarana umum ditutup, mulai dari pasar hingga tempat ibadah. Ah. bahkan peribadatan umat beragama dipaksa untuk ditiadakan. Hari-hari besar umat beragama yang selalu ramai dan semarak, berubah sepi tanpa perayaan. Siapa yang melanggar, pemerintah siap menindak tegas.
Kebijakan pemerintah juga tak luput berdampak kepada para pedagang seperti Ervi dan Nadira. Pengunjung warung mereka menurun drastis, omset mereka turun tajam. Tapi tidak dengan biaya sewa warung mereka, juga modal usaha. Biaya kuliah juga tidak berkurang, kampus sudah memberikan keringanan untuk mahasiswanya, tapi sayangnya Ervi dan Nadira tidak menjadi mahasiswa yang mendapatkan keringanan itu.
Ah, malangnya mereka, di saat kondisi ekonomi yang begitu sulit, ayah dan ibu yang semestinya memberikan mereka uang saku tambahan malah meminta uang dari mereka. Ervi tengah tersenyum menerima bayaran dari seorang pengunjung perempuan berjilbab, memakai masker kuning.
"Terima kasih banyak, Kak," ucap Ervi dengan ramah kepada pengunjung warungnya.
"Sama-sama, Kak," jawab perempuan itu, ia kemudian pamit dan keluar dari warung Ervi. Menuju motornya yang terparkir di depan warung Ayam Renyah tersebut.
"Jadi Nadira marah karena kamu meminjamkan uang untukku, Vi?" tanya Erwin yang telah datang sedari tadi untuk mengunjungi kekasihnya itu.
Ervi mengembuskan nafas panjang, melirik jam di salah satu sisi warungnya. Sudah lewat dari jam sebelas, Nadira belum juga kembali. Membuat Ervi resah, entah kemana adiknya itu pergi mencari pinjaman uang.
"Dia belum pulang, Win, aku benar-benar cemas," lirih Ervi menggigit bibirnya.
"Duh, Vi. Dia sudah besar, kenapa mesti cemas segala? Dia hafal kok sudut Kota Pekanbaru ini, nggak bakalan kesasar," ucap Erwin dengan santai.
Ervi melenguh panjang, menatap kesal kepada kekasihnya itu. Erwin seakan tidak merasa bersalah sama sekali. Padahal pertengkarannya dan Nadira terjadi karena ia meminjamkan uang kepada Erwin semalam tanpa sepengetahuan Nadira.
"Dia nggak bawa masker, Win, nanti di tangkap petugas gimana? dia juga nggak bawa uang, apalagi ponsel ...."
"Duh, Vi, jangan berlebihan gitu deh," potong Erwin lagi tanpa ada beban sedikitpun, "biarlah dia merenung sebentar, merenungi arti kehidupan ini, masa minjamin uang buat aku saja sampai marah segitunya."
"Iya, Win, aku rasa Nadira itu masih kekanak-kanakan, aku juga heran sama dia, apalagi saat ibu menyuruh mengirim uang tambahan buat menebus obat nenek, dia benar-benar marah karena uang disimpan di lemarinya itu hilang," tutur Ervi yang merasa adiknya sedikit berlebihan akan perselisihan mereka tadi pagi.
Erwin berdiri dari kursinya duduk, berpindah ke sebelah Ervi yang sedari tadi duduk di kursi kasir. Tangan laki-laki itu meremas pundak kekasihnya, memberikan ketenangan dan rasa nyaman.
"Masalah kesehatan nenekmu, itu tanggung jawab Ibumu, Vi. Bukan kamu, biarlah ibumu yang berjuang, kamu dan Nadira masih terlalu muda untuk menanggung semua tanggung jawab mereka. Juga ayahmu, jika aku tahu dia merebut uangmu dengan paksa, aku tak segan memukulnya. Laki-laki seperti dia tak pantas dihormati, diberi hati, pasti minta jantung."
Ervi diam, mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Sungguh perkataan Erwin membuatnya merasa panas kepada Burhan—ayahnya yang tanpa ada rasa malu merebut semua hasil keringatnya, kehadiran Erwin membuatnya berani untuk selanjutnya tidak mengalah kepada ayahnya. Ervi kemudian menoleh kepada Erwin, mengusap lembut pundak kekasihnya itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)
Romansa( T A M A T ) Terkadang Tuhan membantu kita yang tengah kesusahan dengan mengirimkan malaikat dalam wujud manusia. Ia hadir begitu kita tengah kesusahan dan menghilang seiring kesusahan itu pergi. Ini bukan tentang malaikat sesungguhnya, tapi manusi...