Bagian 12

56 7 0
                                    

Ervi terisak sedih dalam pelukan Nadira, melepas segala rasa sesak di dada. Merintih menahan perih di hati. Bertanya-tanya, ada hubungan apa Erwin dengan Puja? Kenapa Erwin menolak untuk menemaninya kemarin, lalu tadi ia melihat Erwin mengantar Puja. Apa itu hanya kebetulan? Hei, bukannya Erwin kemarin mengatakan kepada Ervi bahwa ia ingin berkumpul dengan anak-anak motornya? Semua pertanyaan itu terlintas di dalam benak Ervi. Berusaha ia membuang dugaan bahwa Erwin ada apa-apa dengan Puja, tapi lihatlah Ia sekarang, sungguh hatinya tak bisa menepis segala dugaan buruk itu.

"Kakak sama Bang Erwin ada masalah apa?" tanya Nadira dengan hati-hati.

Namun Ervi tak menjawab, ia hanya bisa menggelengkan kepala dalam pelukan adiknya. Meratapi setiap sakit yang menjalar di hati dan dada.

"Bang Erwin mengkhianati Kakak?" tanya Nadira lagi, suaranya pelan, ia hati-hati agar tidak menekan perasaan sang Kakak.

Lagi, Ervi hanya menggeleng dalam isak tangisnya. Membuat Nadira melepas nafas kasar, melenguh panjang. Kesal karena Ervi tidak pernah terbuka setiap ada masalah dengan Erwin. Termasuk saat Ervi diam-diam mengambil uang simpanan mereka untuk Erwin.

"Siapa itu Puja? apa dia kekasih baru Bang Erwin?" tanya Nadira yang masih penasaran akan masalah sang Kakak.

Ervi menggeleng lagi. "Jangan bahas dulu, Dir, kakak mohon," lirihnya.

Nadira memejamkan mata, mengalah, ia mengusap bahu Ervi. Memberikan rasa tenang untuk sang kakak, walau hanya sebentar.

Jauh dari warung tersebut, Ardan tengah duduk di sisi lain Kota Pekanbaru. Sebuah jembatan yang menjadi ikon kota bertuah. Melintasi sungai Siak yang membelah salah satu kota besar di Pulau Sumatera itu. Jembatan bernama Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah itu lebih dikenal dengan nama Jembatan Siak III. Berdiri megah dengan warna kuning menyala, apalagi disinari matahari siang yang terik.

Jembatan dengan desain setengah lingkaran itu tampak kokoh dengan rangka baja yang membalutinya. Membentang di atas sungai Siak dengan kesibukan yang padat di atas jembatan itu. Ardan tengah duduk di salah satu sisi taman di bawah jembatan besar tersebut. Laki-laki itu cukup senang menghabiskan waktu dengan keliling kota bertuah tersebut saat tidak ada kerjaan. Menjelajahi setiap sudut kota yang baru ia kunjungi itu.

Deru kendaraan terdengar jelas, mengisi telinga Ardan, juga sahutan orang-orang yang ada di sekitar taman juga menambah kebisingan yang Ardan rasakan. Laki-laki itu tengah meminum air jeruk yang tadi sempat ia beli di mini market. Matanya menoleh, nun memandang jauh ke seberang sungai, tampak anak-anak tengah asyik bermain disana. Suasana ini membuatnya mengingat lagi masa-masa lalu. Saat kecil di kampung dulu. Apalagi melihat rumah singgah Tuan Kadi. Benar nyata saja suasana seperti kampung Ardan. Hanya saja dulu kendaraan sangat jarang sekali ia lihat.

Mata Ardan berputar, menatap jauh ke atas jembatan megah itu. MeMelihat kokohnya rangka baja dengan warna kuningnya. Mengingat pertengkaran Ervi dan Erwin tadi membuat dadanya sesak. Tersentak. Entah mengapa ia merasakan sakit atas apa yang ia lihat. Walaupun perdebatan sepasang kekasih itu hanya terlihat samar oleh Ardan dari luar warung, Ia tetap merasa tak suka melihatnya.

"Jika saja aku lebih baik dan lebih berani, mungkin aku akan berani melangkah," lirihnya seraya mengurut dahi.

Ardan termenung lama disana, menenangkan hatinya yang terasa tidak menentu. Entah apa sebabnya, ia juga tidak mengerti. Yang dapat ia pahami, ada rasa di dalam hatinya untuk menjaga Ervi agar tidak bersedih. Sejak pertama kali ia melihat gadis itu, hanya kesusahan dan beban berat yang tampak dari mata dan wajah Ervi yang lelah. Apalagi ia tahu bahwa saat pertama kali mereka bertemu, Ervi baru saja kehilangan hasil jualan karena dibawa lari oleh ayahnya.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang