Bagian 27

40 6 0
                                    

"Ah kebiasaan Lo, Dan. Ngelamun setiap malam." Ridho yang baru saja keluar dari kamarnya menghampiri Ardan yang tengah duduk melamun melihat langit berbintang. Laki-laki itu mendorong pelan bahu Ardan yang berdiri di sudut kos-kosan seraya bersandar ke pagar lantai dua.

"Gue suka melihat bulan, makanya setiap malam gue selalu melihat langit."

"Bulan, ada kenangan apa Lo dengan bulan?" tanya Ridho penuh penasaran.

"Ibu gue suka melihat bulan setiap malam, dia selalu duduk di beranda memandang bulan. Katanya itu adalah caranya mengirim pesan sama ayah."

Ridho tertawa mendengar penjelasan Ardan. "Orang-orang zaman dulu emang kuno ya, sampai-sampai mengirim pesan pun lewat bulan."

Ardan hanya mengangkat kedua bahu tanpa menyahut candaan temannya itu. Membuat Ridho mendengus kesal, mendorong lagi bahu Ardan dengan pelan.

"Gimana memar, Lo? udah baikan?"

"Masih sakit, tapi udah sedikit mendingan."

"Makanya, lain kali kalau jalan-jalan jangan sendirian, ajak teman kek, kayak tadi sore." Ridho tersenyum, "ngomong-ngomong cewek tadi cakep juga ya? ngebetan, Lo?"

Hembusan nafas panjang keluar dari mulut Ardan. Mata laki-laki itu tampak nanar memandang bulan. Meresapi apa yang tengah ia rasakan.

"Bukan, gue belum siap untuk hal seperti itu, Dho. Lagi pula dia sepertinya nggak tertarik sama gue, malah dia kayak ingin gue sama adiknya." Ardan teringat saat Ervi mengatakan kepada Erwin bahwa ia tengah mendekati Nadira.

"Kalau adiknya juga cantik, kenapa nggak? Kalau Lo nggak mau, kasih aja sama gue." Ridho mengucapkannya setengah bercanda. Membuat Ardan menoleh dengan menahan rasa kesal.

"Udah, ah, Lo mau keluarkan, lanjut aja, jangan lupa pakai masker, entar ketangkap razia lagi." Ardan berlalu pergi meninggalkan Ridho dan masuk ke kamarnya.

Laki-laki itu mengunci pintu kamar dan duduk di depan meja kerja. Perasaannya terasa berbeda dirasa. Seakan kekecewaan atas sikap Ervi tadi masih hinggap disana. Pun rasa kesal atas apa yang terjadi dengan Ervi di Jembatan Siak III. Laki-laki itu hanya bisa meratapi dirinya sendiri. Memahami satu persatu pembicaraannya dengan Ervi.

Mulai dari ucapan Ervi saat bertengkar dengan Erwin, juga saat gadis itu selalu menyebut Nadira saat ia datang ke warung mereka. Dan tadi saat pulang, saat Ervi berkata takut Nadira salah paham melihat mereka jalan berdua. Ardan memejamkan mata, merasakan perih di hati, gadis itu ternyata menginginkannya dengan Nadira.

***

Tiga hari sudah berlalu, tiga hari juga Ardan tidak pernah datang ke warung Ervi. Tiga hari juga Ervi selalu sendirian setiap pagi karena Nadira sudah pergi sebelum pukul enam. Gadis itu sangat percaya kepada adiknya—ia tetap mengira Nadira pergi ke rumah temannya untuk keperluan kuliah. Ah, tak apa, sepinya warung juga bisa membuatnya lebih fokus mengurus revisi tugas akhir. Juga masalah Erwin yang sudah selesai, serasa membuat beban di pundaknya jauh lebih ringan sekarang.

Namun ternyata, ketiadaan seorang laki-laki juga membuat hidup Ervi terasa sepi. Jika dulu ia selalu menunggu chat dari Erwin, sekarang tidak lagi. Malah ia lebih sering melihat room chat-nya dengan Ardan—berharap laki-laki itu kembali memesan banyak makanan lagi. Sesekali ia juga dibuat stress saat mengingat masalah hutang yang sampai detik itu pun belum ada jalan keluarnya.

Ervi menutup laptopnya karena rasa jenuh yang melanda. Sejak pagi, baru dua pengunjung saja yang datang belanja. Ini karena pandemi yang datang seperti musibah untuk menghancurkan semua usaha yang ia bangun dari nol. Ervi menatap kosong ke arah pintu kaca. Entalah, ia benar-benar bosan sekarang.

Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang