Langkah Ervi cepat memasuki warungnya yang masih saja sepi. Hanya terlihat dua orang laki-laki yang tengah membayar dua potong sambal yang mereka beli kepada Nadira. Sejenak sang adik melihat kakaknya dengan kebingungan. Tadi pagi Ervi pergi dengan semangat untuk menemui dosen, berharap segera dapat persetujuan untuk maju ujian dan lulus sebelum semester baru. Tapi sekarang Ervi malah pulang dengan wajah murung dan mata basah.
Ardan yang saat itu tengah duduk di salah satu kursi tidak disadari kehadirannya oleh Ervi. Laki-laki yang masih saja berantakan rambutnya itu menatap Ervi dengan datar. Kemudian Ia saling pandang dengan Nadira, seolah bertanya apa yang terjadi. Nadira pun hanya menjawabnya dengan mengangkat kedua bahu, pertanda ia tidak tahu apa-apa.
Tanpa peduli dengan keadaan, Ervi melangkah cepat menuju belakang kasir, masuk ke arah dapur dan naik ke lantai dua. Tempat kamarnya dan Nadira berada. Sejak tadi sudah berulang kali Ervi menghapus air mata. Apa yang hendak ia lakukan sekarang? Ia pun tidak tahu. Apa Erwin punya hubungan dengan Puja? Ia juga tidak tahu. Ucapan Erwin yang berkata tak memiliki hubungan apa-apa dengan Puja sungguh tidak dapat ia percayai.
Ervi tertunduk lesu, duduk di bibir ranjang seraya memeluk gulingnya. Berkali-kali ia menghapus air mata, menarik nafas panjang dan mengatur deru nafasnya. Namun tetap saja dadanya terasa sesak, terasa membuncah, ingin rasa sakit hati itu Ia lampiaskan dengan menjambak rambut Puja, dan memukul wajah cantik gadis itu. Berani sekali adik tingkatnya itu merebut kekasih hatinya. Ah, tapi apa hendak dikata, Erwin pun membela Puja, bahkan lebih memilih menemani gadis itu ketimbang mengantar Ervi pulang ke warungnya.
"Kak ...." Nadira lirih memanggil Ervi, membuat Ervi menoleh ke jendela, mengeringkan mata dan pipi serta mengatur deru nafasnya lagi.
"Kakak kenapa?" tanya Nadira lagi, gadis itu masuk ke dalam, duduk di samping Ervi seraya mengusap bahu kakaknya itu.
"Nggak apa-apa, Dir? Ka-Kakak kecewa saja, dosen kakak nggak jadi ke kampus," ucap Ervi menyembunyikan rasa sakit hatinya.
"Ohh, nggak apa-apa, Kak, besok kan masih ada, kalau Kakak nggak bisa ujian semester sekarang, kan masih ada semester depan. Kita masih punya waktu untuk menabung biaya kuliah semester depan," ucap Nadira yang berusaha menyemangati Ervi. Ia masih terlalu polos untuk dapat memahami keadaan hati kakaknya.
Ervi menoleh, ia tersenyum, menunjukan bahwa ia baik-baik saja kepada Nadira.
"Kamu tidak kesulitan membuka warung sendirian, kan?" tanya Ervi berusaha mengalihkan suasana. Serta juga mengalihkan pikirannya dari sosok Erwin.
"Nggak kok, Kak, tadi aku dibantu sama Bang Ardan, kebetulan dia mau sarapan, dia juga masih ada di bawah sekarang," tukas Nadira dengan senyum penuh semangat.
"Ardan, siapa Ardan?" tanya Ervi yang baru pertama kalinya mendengar nama itu.
"Itu, langganan baru kita, yang sering mesan ayam balado buatanku," jawab Nadira masih dengan semangat.
Seketika Ervi teringat pada sosok laki-laki yang membuatnya kesal beberapa hari belakangan. Wajah Ervi berubah, ia tidak suka jika Nadira bersikap berlebihan seperti itu saat berbicara tentang Ardan. Dan tunggu, Ervi melotot, Ardan masih di bawah? apa tadi dia melihat Ervi menangis? Astaga, kenapa sekarang Ervi merasa malu dan semakin kesal saja kepada laki-laki itu?
"Makan disini lagi?" tanya Ervi dengan ketus, Nadira mengangguk pelan, "dan dia masih di bawah, Dir?" lanjut Ervi, dan lagi Nadira mengangguk seraya tersenyum lebar.
Ervi berdiri, ia berjalan menuju lemari, hendak berganti pakaian.
"Kakak jangan ketus begitu dong, Bang Ardan itu langganan baru kita," ucap Nadira memperingatkan sikap kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Pernah Baik-Baik Saja (TAMAT)
Romance( T A M A T ) Terkadang Tuhan membantu kita yang tengah kesusahan dengan mengirimkan malaikat dalam wujud manusia. Ia hadir begitu kita tengah kesusahan dan menghilang seiring kesusahan itu pergi. Ini bukan tentang malaikat sesungguhnya, tapi manusi...