"Setiap hal yang dilihat melalui dua kepala yang berbeda tak akan menemukan persamaan kecuali keduanya berdiri pada titik yang sama,"
Di siang hari seperti ini, sangat disayangkan kalau tidak makan ice cream, oh ya ice cream itu dimakan atau diminum ya? ah sudahlah tak perlu memikirkan hal-hal seperti itu.
Pukul 13.30 menunjukan kalau jam kerja Alma dan Ghaftan sudah berakhir di hari Kamis ini, memang jadwal mereka tidak terlalu padat asalkan semua tugas terselesaikan dengan baik tanpa terlewat satu pun.
"Ghaf, adek lo gak salah kan?" tanya Alma ketika dirinya berada di ruang kerja berhadapan dengan Ghaftan.
Ghaftan hanya menunjukan ekspresi bertanya-tanya, memangnya Vega salah apa? atau mungkin masalah yang kemarin, ah tapi semuanya sudah selesai.
"Lo mau wisuda? ih kok sedikit terkejut kirain masih lama tapi tetep aja alhamdulillah soalnya udah berhasil lulus,"
"Siapa yang bilang?" Ghaftan dibuat bingung dengan penuturan Alma.
"Vega, dia ngundang gue juga buat hadir langsung ke sana, memangnya orang asing boleh datang ya?" Ah benar juga yang Alma katakan, mereka kan asing masa tiba-tiba datang ke sebuah acara yang terbilang formal dan seharusnya hanya dihadiri oleh orang terdekat. Ini aneh!
"Siapa yang bilang kalau kamu asing buat saya?"
Älma menggelengkan kepalanya, "Gak ada sih."
"Nah yaudah, berarti kamu bukan orang asing."
Alma sedikit mendelik, ia tak kecewa dengan jawaban Ghaftan namun sedikit mengharapkan penjelasan. "Halah! jawabannya sangat amat tidak kreatif."
"Oh ya? yaudah deh saya memang gak kreatif. Ngomong-ngomong, sekarang gak ada jadwal kuliah?" pertanyaan Ghaftan mengingatkan Alma pada tugas dan lika-liku dirinya berkuliah.
"Enggak sih, anyways berhubungan sama bahas kuliah gue jadi inget ketakutan pas semester 3 yang akhirnya memutusakan buat nunda dulu, ehh sorry boleh cerita gak?"
Alma kebiasaan deh oversharing dengan orang lain tapi kalau dipikir-pikir Ghaftan itu bukan lagi orang asing baginya, 2 tahun cukup membuat dia mengenal Ghaftan dengan baik sebagai rekan kerja.
"Kamu yakin atau enggak buat ceritain semua itu? jangan sampai nyesel karena udah buka luka lama."
"Yakin," jawab Alma dengan mantap.
Mengapa yang keluar dari mulut Ghaftan seakan menampar, apalagi ceritanya menyangkut sakit yang pernah dialami.
"Yaudah silahkan, saya dengerin." Ghaftan sudah berusaha untuk memasang telinganya lebar-lebar demi mendengarkan kisah yang akan Alma ungkapkan kehadapannya.
"Bentar deh, ini lo mau ngomong kaku dan baku terus ya? gue jadi gak enak takut gak sopan kelihatannya."
"Enggak selalu kayak gini tapi saya lagi ngebiasain diri aja, dulu pernah jadi orang yang selalu bicara kasar, itung-itung hukuman buat diri saya yang dulu, kalau segala perkataan buruk itu lebih baik gak diucapkan. Kamu lanjutin aja ceritanya, jangan hiraukan cerita saya barusan."
Alma mengangguk, meskipun ia penasaran, lebih baik disimpan saja karena dengan sendirinya Ghaftan akan cerita kalau dia mau.
Kembali menceritakan yang sempat tertunda, "Ada banyak faktor yang bikin gue berhenti saat itu."
"Jadi, apa yang bikin kamu mutusin buat berhenti dulu dari dunia perkuliahan?"
"Orang tua," kalau sudah membahas tentang ini, Ghaftan pun tak bisa berkomentar terlalu dalam, "Orang tua larang buat kuliah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang [Sedang Revisi]
Teen Fiction"A story i've never seen before". Kalau saja akar pohon itu tidak kokoh mungkin akan mati dan tidak bisa bertahan lama. "Haruskah bertahan?". Jawabannya sesuai bagaimana caramu memandang. °°° "Setiap hal yang dilihat melalui dua kepala yang berbeda...