Hujan rintik di luar kaca jendela membasahi jalanan kota pagi ini. Kaca yang mengembun, membuat buram pandangan untuk melihat ke arah luar.Padahal tadi cerah, sekarang hujan kecil sukses membuat seisi busway mengusap lengannya kedinginan.
Bus cukup penuh, tapi untung saja di stop selanjutnya seorang wanita turun dan menyisakan satu bangku untuk Maira. Karena sepanjang perjalanan tadi hanya Maira, perempuan yang berdiri selebihnya lelaki semua.
"Maira?" Panggil Mahesa pelan yang kini berdiri menjulang di bangku samping Maira. Lelaki itu mengaitkan tangannya di pegangan busway sambil tersenyum pada gadis ini.
"Jangan ngomong sama gue dulu," ujar Maira memperhatikan sekitar, karena dominan penumpang adalah teman satu sekolahnya.
Mahesa hanya terkekeh pelan. Sebegitu takutnya Maira terhadap teman satu sekolah, perihal kedekatan dengan Mahesa. "Iya maaf," bisik Mahesa.
Maira kembali memfokuskan matanya pada kaca busway yang mengabur karena embun. Tangannya bergerak membuat sebuah huruf M.
"M untuk Mahesa." Kata cowok itu dengan kekehan pelan.
Maira hanya mendengus. "M untuk Maira."
"M untuk mau gak jadi pac—"
"Perhentian selanjutnya, halte SMAN 01."
Ucapan Mahesa terpotong ketika suara pengeras suara berdengung menandakan halte selanjutnya akan tiba. Dilihatnya Maira sudah berdiri di hadapannya kini.
Demi apapun, mereka berdiri saling berhadapan sedekat ini karena menunggu orang berdesakan untuk turun.
Mahesa membawa pundak Maira dan mengarahkannya untuk berjalan lebih dulu.
"Inget dua meter!"
"Ya mau gimana dua meter coba? Banyak orang gini gak ada yang tau juga." jawab Mahesa dengan dengusan pelan.
Maira langsung turun duluan. Ternyata hujan masih turun, namun kali ini hanya gerimis. Gadis itu memutuskan untuk menerobos hujan dari halte menuju sekolah seperti murid lainnya.
"Ra? Mau nerobos?" Tanya Mahesa namun gadis itu sudah lebih dulu jalan. Untung saja jarak halte dengan sekolah dekat, gadis itu sudah sampai di gerbang sekolah.
Mahesa ikut menerobos dengan bantuan jaketnya yang ia bentangkan untuk memayungi dirinya sendiri.
Laki-laki itu melangkah lebar menyamai langkah Maira dihadapannya.
Srettt
"Walaupun hujannya kecil, seragam lo pasti basah." Ujar Mahesa ketika menarik tubuh Maira untuk lebih dekat dengannya. Memayungi keduanya dan berjalan diantara banyaknya pasang mata tertuju pada mereka.
"Hes? Lo ngagetin gue mulu!" Maira mengadah mendapati wajah tegas Mahesa yang agak basah terkena air hujan.
Mahesa tambah ganteng kalau gini. Sampai-sampai Maira tidak bisa berkomentar lagi setelahnya.
Sesampainya di koridor kelas sebelas, Mahesa dan Maira berhenti.
"Tenang aja,"
"Tenang matamu!" Ucap Maira.
"Sana ke kelas,"
Maira mengangguk. Tanpa menyahut lagi, gadis itu langsung membalikkan badannya untuk pergi ke kelasnya.
Gadis itu berharap, tidak ada satupun yang menyadari kalau gadis yang tadi dipayungi Mahesa itu dirinya. Tolong semoga saja, Maira hanya tidak ingin mendapatkan masalah baru.
***
Bu Riris guru matematika wajib sedang menjelaskan materi tentang grafik fungsi kuadrat. Seisi kelas dipaksa untuk memperhatikan hanya karena guru ini galak, dan suka bertanya tiba-tiba."Paham?!" Tanya Bu Riris ketika sudah mencapai akhir penjelasan. Semuanya diam antara paham, tidak paham, atau takut. "Saya anggap kalian paham ya!"
"Gue gak paham sama sekali anying!" Celetuk Akmal. Cowok kurus di belakang kelas.
"Akmal maju kamu!"
Maira dan Wina saling beradu tatap meringis bagaimana nasib Akmal dihadapan Bu Riris.
"Gue sih udah pingsan kali," bisik Wina.
Maira terkekeh pelan.
"Kamu tadi ngomong apa?!"
Akmal hanya haha-hehe di depan Bu Riris. Seisi kelas terkekeh bersama, sementara guru cantik itu hanya melototkan matanya dihadapan Akmal.
Maira tertawa pelan, lalu menoleh ke jendela mendapati Mahesa yang melewati kelasnya, namun kali ini tidak ada lirikan dari lelaki itu, dan ternyata dia bersama Kathryn.
Pantas saja...
Maira menipiskan bibirnya, sampai Mahesa berjalan jauh pun Maira masih memperhatikan lelaki itu.
"Maira? Liatin apa keluar? Mau maju juga?!" Tanya Bu Riris.
Gadis itu tersentak dan sontak menggeleng cepat. "Enggak, Bu!"
"Suruh maju aja, Bu. Biar temenin saya disini!"
"Akmal!!" Ucap Maira sedikit keras.
Akmal hanya terkekeh tanpa dosa.
"Maju Maira!" Perintah Bu Riris.
Wina yang duduk di sampingnya hanya terkekeh pelan. "Mampus lo, Ra.."
"Berisik!"
***
"Gue enggak nyangka bentar lagi perlombaannya, lo semangat ya! Jangan makan gorengan dulu," ucap Kathryn.
Mahesa tersenyum sambil menoleh pada gadis cantik di sebelahnya ini. "Iya kak, lo juga semangat."
"Gue pasti semangat!"
Mereka berdua kini dipanggil Bu Yuni selaku guru seni untuk membahas tentang perlombaan yang di adakan tiga hari lagi.
Dan kebetulan, mereka berdua bisa lolos tingkat provinsi, dan sekarang tingkat nasional. Pasti bisa terlihat betapa sengitnya lomba nanti.
"Hes?" Kathryn menghentikan langkahnya dan menghadap Mahesa, tangannya terulur menyentuh rambut lelaki itu.
"Kenapa kak?"
Kathryn tersenyum. "Ada daun, abis dari hutan?"
"Ahh? Kayanya tadi gue abis di bawah pohon ketapang,"
Kathryn dan Mahesa terkekeh bersamaan.
Sesampainya di ruang seni, mereka masuk dan ternyata Bu Yuni belum ada disini. Kathryn memutuskan untuk duduk di kursi, sementara Mahesa mengambil gitar untuk ia mainkan.
Mahesa mulai bersenandung disertai petikan gitar yang merdu.
Kathryn menopang dagu sambil tersenyum memperhatikan Mahesa memainkan sebuah lagu.
"Mahesa?" Panggil Kathryn. "Lo tipe gue banget."
Mahesa menoleh pada Kathryn. Dan tatapan keduanya bertemu, Kathryn harap tatapan dari Mahesa ini sama seperti dirinya.
"Maaf ya anak-anak ibu tadi ke kantor wakasek dulu." Ucap Bu Yuni yang datang menyadarkan keduanya yang sedang bertatapan.
Bersambung...