Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Langkah gadis itu terhenti tepat di pintu masuk gymnasium. Sorakan terdengar di telinganya, pandangannya lalu beralih pada tengah lapangan. Seketika lututnya melemas begitu saja. Kenapa harus terjadi lagi? Sudah kesekian kali tak terhitung, ia melihat pemandangan yang tidak ia pikir akan terulang kembali.
Kenapa selalu Kathryn?
Di belakangnya, ada Januari yang daritadi mengikuti arah langkah Maira. Pemuda gondrong itu ikut menghentikan langkahnya seraya menatap aneh si adik kelas. Kenapa tidak langusng duduk di bangku penonton, alih-alih berdiam diri di pintu masuk?
Oh ternyata.
Januari menyejajarkan tubuhnya sembari menoleh pada Maira yang menatap nyalang pada—Mahesa.
Gadis itu berbalik badan, dan berlari keluar gymnasium secara tiba-tiba.
Januari mengikuti arah langkah gadis itu, setelah dirinya melempar tatapan sulit di artikan pada lelaki yang hanya berdiri di tengah lapangan menatap ke arahnya juga.
"Mahesa orangnya?"
Derap langkah menggema seisi koridor yang sepi. Langkah gadis itu terhenti ketika mendengar suara berat Januari menginterupsi.
"Lo ngapain ngikutin gue?" tanyanya ketus.
Januari mengambil langkah lebar, mendekat pada gadis itu.
"Cowok lo Mahesa?" tanya Januari sekali lagi, jika boleh jujur ia terlanjur penasaran.
Maira mendenguskan hidung, ia membuang muka. "Bukan urusan lo."
Sial. Januari membungkuk menatap wajah Maira yang sudah memerah sebab menahan sesak. Maira memberanikan diri untuk menatap lelaki dihadapannya ini, ketika netra mereka bertemu entah kenapa waktu seperti mendadak berhenti.
"Nangis aja," suara berat lelaki itu terdengar lebih pelan dari biasanya. Mana Januari si pembangkang dan paling disegani? Lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Tatapannya yang tajam namun kini berubah teduh.
Maira menjatuhkan air matanya. Bohong jika ia tidak sakit. Maira kekasih Mahesa, namun kenapa semua orang selalu memberikan ruang pada Kathryn untuk Mahesa.
Maira bukannya haus pengakuan. Ia hanya cemburu.
"Nangis yang kenceng, Ra. Disini gak ada orang! Lo tenang aja!"
Gadis itu menundukkan kepala, dengan air mata yang terus mengalir.
Dihadapannya, Januari bergeming sesaat. Ia hanya berdiri menyaksikan gadis ini menumpahkan segala emosi di hatinya. Januari bukan siapa-siapa. Entah kenapa terbesit rasa ingin—melindungi.
Derap langkah lain terdengar begitu tergesa. Mahesa menampakkan batang hidungnya di radius lima meter di hadapan Januari. Kedua lelaki ini saling memandang dengan tatapan sengit.