Suara kicau burung kenari di pagi hari itu terdengar bersautan. Suara yang riuh seharusnya bisa mengusik tidur siapapun yang terlambat untuk menyambut pagi.
Sang cakrawala sudah membumbung lebih tinggi dari pepohonan di sekitar rumah keluarga Choi. Memancarkan sinar teriknya menembus kain putih yang menghalangi jendela milik seseorang masih sibuk meringkuk di dalam tebalnya selimut berwarna lazuardi.
Tidak. Bukan hanya satu orang yang tengah tenggelam di dalam selimut tebal nan hangat itu, melainkan dua. Meskipun salah satu di antara mereka sudah terbangun dan membuka mata. Hanya saja dia masih enggan untuk bergerak dan mengusik tidur seseorang yang juga sedang mengistirahatkan tubuhnya pada ranjang yang sama.
"Eungh..."
Suara pertama yang terdengar di dalam kamar itu ada suara lenguhan panjang di susul dengan suara gesekan kain-kain yang bergaung mengitari kamar.
Jeonghan. Seseorang yang tengah menggeliat pelan itu adalah Jeonghan. Sedangkan seseorang yang lainnya, tentu saja Seongcheol. Laki-laki itu hanya sempat memejamkan mata tak lebih dari satu jam sejak hal yang mereka lakukan semalam.
Rasa bersalah yang memenuhi seluruh rongga dadanya membuat tidurnya tak nyaman.
"Kau... sudah bangun?"
Dan tiba-tiba Jeonghan berhenti untuk menggeliat dan merentangkan tangan. Seketika kedua matanya terbuka dengan cepat. Masih berusaha menangkap dengan pasti suara yang masuk begitu saja ke dalam gendang telinganya. Dia menoleh pada sisi kirinya, dan sudah dapat di perkirakan, kedua pupil matanya melebar ketika mendapati sosok temannya itu tengah tidur di sampingnya dengan salah satu lengannya yang memeluk pinggang rampingnya tanpa penekanan.
Jeonghan bergerak. Berniat untuk bangun dan menjauh serta untuk menanyakan maksud sang kawan yang tengah berbaring di sisinya.
"Ya! Apa yang kau laku.. Akh!"
Sakit.
Sosok kurus itu merintih sembari menggigit bibirnya dengan kuat. Mengarahkan salah satu tangannya untuk menyentuh pinggangnya yang seolah patah.
Namja itu rupanya masih belum menyadari tentang apa yang Seongcheol lakukan semalam. Beberapa kali dia hanya terdiam sembari mengusap pinggangnya. Jujur saja, dia bingung tentang apa yang harus dia lakukan. Dia hanya memiliki dua tangan, namun banyak sekali anggota tubuhnya yang terasa remuk redam. Hingga dia tak mampu memprioritasnya anggota tubuhnya yang mana untuk dia usap lebih dulu dan meredakan sakitnya.
"Jeonghan? Gwaencahana?". Laki-laki itu kemudian bangun dari baringnya. Tanpa sengaja menyingkap selimut sutra yang sebelumnya membungkus mereka. Seongcheol mengulurkan tangan, meskipun kemudian berhenti karena merasa segan untuk menyentuh kulit sang teman.
Jeonghan membatu.
Kesadarannya kembali secepat kilat seiring dengan gerakan lengan Seongcheol yang terhenti di udara. Anak pertama dari keluarga Yoon itu mengerjap, menyadari tubuh atasnya yang tak terbalut sulaman benang.
Lengan kurus itu menyingkap selimut yang menutupi seluruh kaki hingga pinggangnya. Lalu menyadari bahwa sakit yang menyerbunya di pagi hari adalah imbas dari hal yang mungkin saja tanpa sadar telah mereka lakukan semalam.
"J-jeonghan". Seongcheol Kembali mengulurkan tangannya, berniat untuk meraih lengan sang kawan.
Plak!
Urung.
Jeonghan menepisnya dengan segera. Menimbulkan suara kulit yang bertabrakan dan meninggalkan rasa sakit pada punggung tangan Seongcheol.
"Apa semalam kita melakukannya tanpa sengaja?"
"A-aku bisa menjelaskannya"
Jeonghan memutar kepala. Kali ini menatap lurus pada Seongcheol dengan raut muka penuh amarah yang di selimuti luka. "Kau mabuk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Steganografi [JeongCheol Ver.]
FanfictionIni adalah kisah cinta klasik yang di mulai sejak keduanya duduk di bangku sekolah dasar. Namun, cinta itu rupanya hanya di rasakan sepihak. Seongcheol mencintai Jeonghan setengah mati, tapi Jeonghan menganggapnya tak lebih dari seorang kawan. Menun...