Part : Six

717 76 14
                                    

Pagi hari ini terasa sangat dingin ketika sang matahari belum terbit dari ufuk timur. Tetes-tetes embun bahkan belum mengering dari atas pucuk daun yang menguning di musim gugur. Suasana masih terasa begitu tenang ketika sosok manis berambut panjang yang menjuntai di belakang telinga itu menapakkan kedua kakinya pada lantai kamarnya. Dia duduk dengan mengeratkan cengkeramannya pada pinggiran ranjangnya. Beberapa kali terdengar tarikan nafas dalam penuh beban yang dia hembuskan di tengah kesunyian yang membingkai dini hari.

Dia bahkan masih enggan untuk mengganti pakaian kerja yang dia kenakan mulai kemarin. Bajunya telah lusuh akibat sepanjang malam meringkuk meredam tangis yang tak bisa dia gaungkan pada seluruh dunia.

Sekali lagi, dia menyisir rambut halus nan berantakan itu dengan jari-jari panjangnya. Air mukanya terlihat kusut dengan bekas air mata yang mengering dan mengotori wajah cantik yang pada awalnya penuh senyum ceria itu. Namun kini, suasana dan sikap hangat yang selalu dia perlihatkan, seolah enggan untuk muncul di permukaan akibat rasa sakit yang dia rasakan selama ribuan jam.

Seperti masih ingin menampik kenyataan yang sejujurnya dia tahu bahwa itu tak lagi berupa khayalan, pada akhirnya namja manis itu menggerakkan tangannya. Mengusap perut kurus yang bahkan masih enggan untuk dia percaya bahwa ada seorang malaikat kecil yang tengah berlindung pada tubuhnya.

Jeonghan, dia tak lagi ingin membuang air mata. Pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan masa depannya. Di satu sisi, dia benar-benar merasa tak siap untuk menjaganya sendirian. Menjadi orang tua tunggal bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi jika menghadapi penghakiman seluruh dunia yang mungkin saja akan memberikan label penuh kesalahan kepadanya. Namun, dia juga tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila dia mengatakannya kepada Seongcheol bahwa apa yang laki-laki itu lakukan kepadanya dua bulan yang lalu telah meninggalkan suatu jejak.

Ada opsi lain yang tengah dia pikirkan meskipun hati kecilnya merasa kasihan. Menggugurkannya?

"Dia tak memiliki dosa apapun untuk kau bunuh tanpa sebuah kesempatan untuk bertahan..". bisikan tak kasat mata itu berdengung rendah di dalam syaraf otaknya. Membuatnya menutup mata seiring hembusan nafas berat yang tengah dia keluarkan untuk yang ke sekian kalinya.

Setelah puluhan menit dia berperang dengan isi kepalanya, Jeonghan lalu memutuskan untuk berdiri. Melangkahkan kedua kaki jenjangnya dengan hati-hati menuju kamar mandinya. Membasuh muka lusuh itu dengan tenang. Mengganti kemejanya dengan sebuah jaket tebal nan hangat, dan kemudian mengikat surai halusnya sebelum memutuskan untuk pergi ke dapur di lantai utama.

Dia lapar.

.

.

.

.

.

.

.

Lorong panjang rumah sakit itu terasa sunyi meskipun hiruk pikuk dari orang-orang yang berlalu lalang di kanan dan kirinya terus membuat gema yang bergemuruh. Jeonghan sendirian. Duduk melipat tangan dengan isi otak yang beragam. Ada dua hal yang tengah dia pikirkan.

Pertama, pagi ini, ketika dia sedang menghabiskan sarapan rotinya pada dini hari, dia menemukan fakta bahwa kemungkinan untuk menggugurkan kandungan pada saat janin tersebut berumur di bawah 14 minggu adalah legal. Apalagi dengan dukungan fakta bahwa bayi tersebut ada di karenakan sebuah pemaksaan. Membunuhnya sekarang tak akan membawanya ke meja hijau untuk di adili.

Jujur saja dia lega.

Menghitung dari hari dimana mereka melakukannya, tentu saja seharusnya bayi yang tengah meringkuk di dalam perutnya itu berumur tak lebih dari 8 minggu. Berbekal pada keyakinan tersebut, pikiran Jeonghan pagi ini menjadi mantab untuk melenyapkannya tanpa mengatakannya kepada siapapun dan berniat untuk kembali pada kehidupannya yang normal tapa adanya Seongcheol di sekitarnya.

Steganografi [JeongCheol Ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang