Sehun masuk ke dalam mobilnya dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi dia masih ingin berlari. Mengejar Jeonghan dan menahannya untuk pergi. Namun di sisi lain dia juga menyadari, bahwa seseorang yang kehadirannya sedang berusaha di tolak oleh Jeonghan itu, memiliki hak yang lebih banyak daripada dirinya.
Sehun tahu, laki-laki itu sangat menyadari mengenai posisi. Bahwa dia mengenal Jeonghan tak lebih lama daripada Seongcheol. Bahwa dia juga tak memiliki apapun yang dapat dia pertaruhkan untuk membuat posisinya menjadi lebih pantas untuk di pertahankan oleh Jeonghan di banding bayi yang baru saja Sehun ketahui bahwa itu menjadi hak Seongcheol di satu sisi.
Laki-laki flamboyan itu hanya bisa menyandarkan tubuh lelahnya pada sandaran kursi kemudi di belakangnya. Sedikit menurunkannya agar dia bisa bersandar lebih rendah. Merasa enggan untuk turun dari mobil mewahnya dan berbaring di atas ranjang empuk di dalam apartment miliknya.
'Han... tak bolehkah aku menjadi egois dan mengejarmu meskipun aku tahu bahwa bayi yang kau kandung adalah milik laki-laki lain? Dibanding harus pergi dan meninggalkanmu, kurasa semuanya akan menjadi lebih ringan bagiku untuk menerima anak kalian dan membuatmu tetap bersanding di sisiku...'
.
.
.
.
.
.
.
Jam dinding sudah menunjuk angka 3 ketika Seongcheol telah selesai memarkir mobilnya di garasi lebar di samping rumahnya. Dia masuk ke dalam kamarnya yang terasa hampa. Pria muda itu sudah melepas sepatunya sesaat setelah dia duduk di atas ranjangnya. Sengaja tak menghidupkan lampu utama kamarnya. Dan memilih untuk menghidupkan lampu tidur demi menunjang nuansa tenang yang memang ingin dia dapatkan dini hari itu.
Dia baru saja pulang dari rumah sakit setelah mengantar sang pujaan hati yang mengeluhkan perutnya sakit pasca pertengkarannya dengan atasan yang dia tahu juga memiliki perasaan serupa dengannya dan juga sama-sama berupaya untuk merebut hati teman semasa kecilnya itu. Hanya saja dia tahu bahwa sejak awal dia sudah kalah dari Sehun yang secara nyata telah mampu mengambil hati Jeonghan yang baru di kenalnya selama beberapa bulan. Berbanding terbalik dengannya yang rupanya hanya bertepuk sebelah tangan setelah sekian tahun lamanya.
Seongcheol tak bisa memejamkan kedua matanya. Pun enggan untuk melepas kemeja dan dasi yang dia kenakan. Dia tak berminat untuk membersihkan keringat yang menempel di tubuhnya setelah sepanjang hari berkutat dengan pekerjaannya di kantor.
Laki-laki bermarga Choi itu kemudian merebahkan tubuhnya. Menyusun bantalnya lebih tinggi setelah merogoh dompet mahal yang terselip di saku celananya. Seulas senyuman tipis tiba-tiba tersimpul nyata disana ketika dia mengeluarkan secarik kertas bergambar hitam putih yang berhiaskan pantulan kuning cahaya lampu tidur di samping ranjangnya.
Seongcheol terkekeh. Tanpa sadar menggigit bibirnya saat menatap foto anaknya yang bahkan ukurannya hanya sekitar kepalan tangan. Wujudnya memang belum sempurna. Tapi tangan dan kaki kecilnya mulai terlihat.
Ini aneh. Ini hal nyata yang terdengar menggelikan ketika Seongcheol merasakan ada rasa kasih sayang besar yang dia rasakan ketika menatap secarik kertas dengan gambar hitam putih di tangannya.
"Bayi kalian berjenis kelamin laki-laki. Jika segalanya lancar dan istri anda tidak mengalami abrupsi, maka seharusnya dia bisa melahirkan tepat waktu tanpa alat bedah"
Kalimat yang di sampaikan oleh sang dokter sebelumnya terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Beberapa kali dia tak sanggup menahan tawa kecil saat membayangkan bahwa beberapa bulan lagi dia akan menjadi seorang ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Steganografi [JeongCheol Ver.]
FanfictionIni adalah kisah cinta klasik yang di mulai sejak keduanya duduk di bangku sekolah dasar. Namun, cinta itu rupanya hanya di rasakan sepihak. Seongcheol mencintai Jeonghan setengah mati, tapi Jeonghan menganggapnya tak lebih dari seorang kawan. Menun...