Detik demi detik berlalu. Hari-hari yang biasanya Seongcheol lewati dengan gelisah, kini berganti menjadi hari-hari panjang yang penuh penantian dalam kecemasan. Hal itu bukan tanpa alasan. Anggap saja laki-laki itu hanyalah seolah pria yang memiliki kesabaran setipis benang sutra. Nyatanya sudah berhari-hari dia tak bisa fokus pada pekerjaannya hanya di karenakan menunggu kabar dari Jeonghan.
Minggu sebelumnya sosok manis itu secara mengejutkan tiba-tiba mengajaknya untuk pergi mengunjungi dokter Jang. Yang mana Dokter tersebut adalah seseorang yang selalu menjadi tujuan utama bagi Jeonghan di kala dia memeriksakan perkembangan bayi mereka. Seorang diri, sang calon ibu itu bahkan tak pernah mengijinkan ayah dari putranya untuk ikut serta atau sebatas mengetahui kapan tanggal pasti pemeriksaannya. Dan minggu kemarin, entah dengan alasan apa, tiba-tiba Jeonghan mengajaknya. Memintanya secara spontan untuk pergi bersamanya.
Dan yang menjadi permasalahan utamanya, Jeonghan hanya mengatakan bahwa pekan depan dia ingin pergi bersama dengan Seongcheol. Hanya mengatakan pekan depan, tanpa memberikan hari dan tanggal sebagai waktu yang berisi kepastian.
Seongcheol gelisah. Beberapa kali dia hanya menyandarkan tubuh pada sandaran kursi kerjanya. Menutup mata dan melipat tangan sembari menggoyangkan kursinya ke kanan dan ke kiri. Ingin sekali laki-laki berbahu lebar itu mendatangi Jeonghan sepulang dia bekerja. Namun dia tahu dengan pasti bahwa temannya itu akan marah dan merasa terintimidasi oleh sikapnya. Maka dari itu dia memilih diam. Menahan diri untuk tak lagi mendatangi tempat Jeonghan bekerja. Hal itu dia lakukan hanya untuk meminimalisir perdebatan dan juga perselisihan yang mungkin saja akan terjadi nantinya.
Namun, menunggu tanpa kepastian juga merupakan suatu hal yang menjengkelkan. Sehingga, dia berpikir bahwa mungkin mendatanginya sekali tak akan menimbulkan masalah yang berarti. Dia tak lagi bisa menghubungi Jeonghan melalui ponselnya mengingat temannya itu belum membuka tanda blokir pada kontaknya.
Ruangannya terasa sunyi. Satu persatu karyawan yang bekerja di Perusahaan start up yang dia pimpin itu mulai melangkahkan kaki meninggalkan gedung berlantai lima yang dia huni. Meninggalkan Seongcheol yang masih di ombang-ambing kegelisahan seorang diri.
Senyap di sekelilingnya mulai menyelimuti. Berbisik tenang menembus relung hati.
'Mendatanginya sekali dan memperjelas maksudnya tak akan membuatmu menjadi lebih di benci'
'Mendatanginya ataupun tidak, itu tak akan pernah mengubah situasi dan kondisi bahwa dia tetap tak menyukaimu Choi Seongcheol'
'Mendiamkannya dan tak mendatanginya sekali lagi hanya membuat temanmu yang keras kepala itu menjadi berpikir buruk tentangmu setelah kau dengan tegas mengatakan bahwa kau ingin bersamanya. Daripada berpikir bahwa kau hanya ingin memberinya ruang nyaman untuknya menenangkan pikiran, dia justru hanya berpikir bahwa kau memang tak pernah serius dengan ucapanmu'
Dan setelahnya, masih banyak lagi pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya. Menghantuinya hingga linglung dan tak mampu merangkai kata. Seongcheol lalu membuka mata, meraih ponselnyaa sembari menimangnya dengan gerakan pelan. Banyak sekali perdebatan yang terjadi di dalam otaknya. Hingga kemudian, dia memilih untuk beranjak dari kursinya. Menggulung lengan baju dan meraih jasnya. Dia keluar dari ruangannya dan mengayunkan Langkah lebarnya dengan cepat. Masuk ke dalam lift dan menemukan mobilnya dengan segera.
"Lebih baik di caci maki olehnya daripada membiarkannya termakan oleh narasi bodoh yang selalu dia karang sendirian"
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Steganografi [JeongCheol Ver.]
FanfictionIni adalah kisah cinta klasik yang di mulai sejak keduanya duduk di bangku sekolah dasar. Namun, cinta itu rupanya hanya di rasakan sepihak. Seongcheol mencintai Jeonghan setengah mati, tapi Jeonghan menganggapnya tak lebih dari seorang kawan. Menun...