TUJUH

1.2K 185 5
                                    

Mark belum sembuh di esok lainnya. Masih dengan rasa gatal di tenggorokan, hidung setengah mampet, kepala terasa berat, serta menggigil yang semakin parah. Ibu menjadi harus kerja keras dua kali lipat. Menyesal sudah meninggalkan adik bayi bersama Mark kemarin hanya karena ingin belanja kebutuhan adik bayi. Buah dari hasil kepergiannya, adik bayi ikut demam.

"Kenapa Adik bayi tidak tidur-tidur sih." Mark protes sembari mengayun-ayun adik bayi yang menangis terus-terusan. Membiarkan ibu pergi sebentar untuk mengambil air hangat. Mark yang kembali terserang pusing kepala memilih melangkah pelan-pelan mendekati kasur.

"Bayi bobo.. oh.. Bayi bobo.."

Sial, Mark merinding menyanyikannya. Meski begitu ia tetap saja melanjutkan. Dengan tangan menepuk-nepuk punggung adik bayi. Semakin lama adik bayi semakin terbuai dengan situasi menyisakan sesenggukan saja.

Mark mendengus. Menatap ke arah pintu balkon kamarnya yang terbuka membawa hembusan angin kencang. Diam-diam ia jadi membayangkan masa depan. Kalau misal dia yang sungguhan membuat anak. Mark sudah mengira-ngira, dia akan mengalami krisis ketenangan selama beberapa tahun karena adik bayi yang dilahirkan adalah bagian paling rewel dan mengusik setiap detik kehidupan.

"Penting untuk tidak meninggalkan sperma di tempat riskan." Mark menggumam. Pada waktu itu Ibu masuk ke dalam kamar dengan sebaskom air hangat dan satu handuk kecil di genggaman.

"Apa anakmu baru saja tercebur ke parit? Lihat bajunya basah di mana-mana. Kau mau dia makin masuk angin?" Ibu berkomentar.

"Bukan salahku dia banjir keringat. Salah adik bayi menangis tidak berhenti. Menghabiskan tenaga sendiri." Mark membalas sembari menidurkan kembali adik bayi.

"Galak sekali. Salah apa adik bayi punya orangtua seperti dirimu." Ibu mencibir. Mendorong tubuh Mark agar menyingkir dari sisi kasur. "Sana ambilkan baju ganti. Ibu mau mengompres adik bayi dulu. Dokter Choco sedang dalam perjalanan ke sini."

Mark mendengus. Lantas berlalu memasuki ruang penyimpanan pakaian untuk mengambil satu stel baju adik bayi. Beberpa menit kemudian dia kembali. Mengulurkan baju adik bayi pada ibu. Dia kemudian merangkak menaiki kasur berniat tidur kembali.

"Bu, sebagian mantanku laki-laki tapi kenapa ibu bisa kepikiran Neo?" Mark bertanya.

"Perasaan Ibu tidak menyebut nama mantanmu yang satu itu. Kapan ibu menyebut Neo sebagai papa adik bayi? Ibu kan cuma menebak karena kau menyebut papa adik bayi. Berarti adik bayi punya dua ayah. Tunggu tunggu! Kenapa ibu merasa asing? Ini benar Mark Pakin anak ibu yang barusan mengungkit mantannya?" ibu berujar. Menghentikan aktivitas mengancingkan baju adik bayi, dia menatap curiga pada sang anak.

"Bu aku serius." Mark kembali bersuara.

"Ibu juga serius bertanya padamu." Ibu membalas. Kembali melanjutkan memasangkan kancing baju adik bayi. Membiarkan sang anak mengerutkan dahi, nampak berpikir keras.

Sebenarnya Mark tidak berniat untuk memikirkan mantan. Hanya saja dia jadi ingat mantan karena ibu kemarin sekali membahas tentang mantan pacar itu. Tapi itu hanya sekali dan tentang mantan pacarnya. Jadi? jadi??? jadi????

"Ibu tahu kalau kau tipe orang yang tidak akan memikirkan masa lalu." Ibu membuka obrolan. Beringsut memutar tubuh untuk memperhatikan anak lakinya yang terlihat terpejam. "Bagaimana pun kau mencoba diam, ibu bisa tahu segala yang ada dalam dirimu. Karena kau anak ibu."

"Teori dari mana itu?" Mark menyahut. Membuka kedua matanya untuk melirik sang ibu yang sudah menatapnya terlebih dahulu. Dia jadi penasaran.

"Memang apa yang ibu ketahui tentangku?" Mark bertanya.

"Kau bocah nakal tidak tahu apa-apa. Ibu setuju pada Tuhan sudah membawa Adik bayi ke mari!"

Demi Tuhan, haruskah Mark menyembah kaki ibu demi mendapatkan jawaban yang masuk akal?

Bersambung.

Mari kita mempertemukan Mark dengan papa Adik bayi.

Cup! Cup! Adik Bayi - MarkFordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang