Enam

301 51 7
                                    

Seperti biasa Bright akan mengganggu ketenangan Win. Padahal hari masih pagi, tetapi Bright sudah duduk di samping Win.

Lelaki itu menyandarkan kepalanya di atas meja dengan posisi miring menghadap Win.

Tidak ada yang Bright lakukan selain memandang wajah indah Win. Tatapan Bright begitu dalam. Ia menatap Win lekat-lekat.

Mata, hidung, dan pipi tak lepas dari pandangan Bright. Bahkan alis hingga bulu mata lentik Win masih dalam penjagaan netra lelaki itu.

Indah.

Sangat menawan.

Bright tidak bisa untuk tidak mengagumi setiap hal yang ada di dalam Win.

Lihatlah bagaimana bulu mata itu sedikit bergetar saat kelopak mata Win berkedip. Ah, jangan lupakan bagaimana rambut yang menutupi sebagian dahi Win bergoyang pelan ketika dihembus angin.

Tidakkah itu mempesona?

Setiap hal yang ada pada Win begitu indah. Mau tidak mau Bright harus mengakui itu.

Bright terhenyak saat pandangannya berhenti di bibir tipis Win. Untuk beberapa saat Bright blank. Ia tak tahu apa yang terjadi dan ia tak mengerti apa yang ia rasakan.

Namun, yang jelas hatinya berdesir. Ada debaran aneh yang Bright sendiri tak tahu apa.

Tidak mungkin 'kan jika ia ingin—Bright menggeleng keras seraya memejamkan matanya, membuang jauh-jauh pemikiran itu dari pikirannya.

Baru saja Bright membuka matanya, ia sudah mengaduh karena kepalanya dipukul menggunakan buku.

"Gak usah mikir aneh-aneh. Muka lo nyeremin," ujar Win datar, lalu kembali fokus pada bukunya.

Bohong jika Win mengatakan bahwa ia tidak merasa risi saat Bright menatap dirinya dengan begitu dalam. Ia merasa terganggu, sangat. Tapi ia mencoba untuk tidak terlalu memperdulikannya.

Sampai ketika tatapan Bright berubah menjadi lebih dalam di saat memandang bibirnya, terlebih ekspresi lelaki itu terlihat menyeramkan di mata Win.

Win tidak tahan lagi, ia merasa terganggu sehingga memukul wajah Bright karena kesal.

Bright memamerkan senyum tak berdosanya. Ia meraih tangan Win dan menaruhnya di tempat pemuda itu memukulnya.

"Sakit tahu, kok kamu kejam banget sama pacar sendiri." Bright membuat ekspresi sedih, ia memandang Win dengan tatapan sendu yang dibuat-buat.

Win tidak peduli dengan drama yang dimainkan oleh Bright, ia melepas genggaman tangan Bright. Tapi Bright menahannya dengan kuat.

"Jangan dilepas dulu, lukanya belum sembuh. Bentar lagi ya, biar tetap seperti ini." Kali ini tidak ada nada manja yang dibuat-buat seperti biasanya Bright lakukan.

Yang terdengar hanya ada ketulusan.

Dan hal itu yang membuat Win mengurungkan niatnya untuk menarik tangannya dari wajah Bright.

Diliriknya Bright yang saat ini sedang terpejam. Entah dapat dari mana dorongan untuk mengelus wajah Bright.

Namun, Win melakukannya.

Dapat Win lihat ada raut keterkejutan di wajah Bright. Tapi itu hanya sebentar karena setelahnya Bright tersenyum.

Bright membuka kelopak matanya, senyum di bibirnya semakin lebar.

"Makasih ya, sekarang lukanya udah baikan. Lo emang obat paling ampuh," ucap Bright lembut disertai tawa pelan.

Tidak ada jawaban dari Win, pemuda itu hanya melirik Bright sesaat. Kemudian kembali fokus pada bukunya.

Bright yang melihat itu menjadi gemas sendiri. Ia mencubit pipi Win pelan seraya terkekeh geli.

"Gemesin banget sih pacar gue, mau gue karungin aja rasanya. Yuk pulang sekolah jalan."

Win melepas tangan Bright dari pipinya. "Lo jalan sendiri aja, gue gak bisa."

"Kalau jalan sendiri bukan ngedate namanya, tapi jogging."

"Gak bisa Bright, gue sibuk "

"Ayolah Win, sekali-kali kita ngedate. Emang lo sibuk apa sih sampai gak bisa?"

Win tidak menjawab dan hanya diam. Tidak ada tanda-tanda Bahwa Win akan menjawab. Bright menghela napas panjang.

Selalu saja seperti ini.

Kalau terus-terusan seperti ini, lalu bagaimana rencana pdkt-annya dengan pemuda itu akan berjalan mulus. Bright harus berpikir keras.

Di sisi lain Win tidak berbohong. Ia memang sibuk. Ia tidak memiliki waktu untuk berkencan. Sepulang dari sekolah ia harus bekerja, dan ia tidak memiliki waktu bahkan hanya untuk sekadar main.

Obrolan mereka terhenti ketika bel masuk berbunyi, Bright harus menelan kembali perkataan yang ingin ia katakan. Padahal banyak sekali hal yang ingin lelaki itu sampaikan.

***

Tanpa sepengetahuan Win, Bright membuntuti ke mana pemuda itu pulang.

Lelaki itu mengikuti Win hingga ke rumah pemuda itu. Bright memandang ke arah bangunan yang terlihat tua itu. Catnya sudah banyak yang mengelupas.

Bright dilema apakah ia harus menghampiri Win ke dalam rumahnya dan bertamu atau tidak.

Namun, ia takut Win akan marah karena tahu dirinya membuntuti pemuda itu.

Baru saja Bright akan pergi, ia sudah melihat Win keluar dari rumahnya. Netranya tidak pernah lepas dari Win. Mulai dari keluar dari rumah sampai menaiki sepeda, semua itu dalam perhatian Bright.

Alis Bright bertaut penasaran.

Win baru saja sampai, dan pemuda itu sudah pergi lagi?

Dan hal yang menjadi pertanyaan Bright adalah ke mana pemuda itu akan pergi?

Rasa penasaran itu yang membuat Bright lagi-lagi ingin membuntuti Win. Ia hanya ingin tahu ke mana sebenarnya Win pergi.

Ia ingin tahu kesibukan apa yang Win jalani sampai-sampai tak ada waktu untuk berkencan dengannya.

Itu intinya.

Sampai akhirnya Bright melihat Win memarkirkan sepedanya di sebuah kafe. Tanpa masuk ke dalam saja Bright sudah tahu bahwa Win bekerja di sana.

Bright memandang punggung Win yang menghilang di balik pintu masuk kafe. Ada perasaan sedih ketika ternyata pemuda itu harus mengorbankan waktunya untuk bertahan hidup.

Namun, disisi lain ada rasa kagum tersendiri bagi Bright setelah mengetahui perjuangan Win.

Lagi, Bright dibuat kagum oleh pemuda itu. Setiap hal baru yang Bright ketahui dari Win selalu membuatnya kagum.

Entah di masa depan ada kejutan apa lagi.

Bright memandang sekilas ke arah kafe itu lagi sebelum akhirnya berbalik meninggalkan tempat itu.

TBC..

Update untuk Minggu ini, sampai jumpa di part selanjutnya

Semoga hari libur kalian menyenangkan 🤍

Minggu, 26 Februari 2023.

Bumantara Chandra [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang