Satu

868 60 16
                                    

"Lo gila?" umpat Bright pada teman-temannya seraya menatap mereka tidak percaya.

"Kita masih waras, lo kalah dan milih dare. Udah lakuin aja dare dari kita," ucap Gulf seraya tersenyum meledek.

"Buktiin kalau lo gentleman, Bright." Nani menambahkan.

Bright memandang ke arah bangku depan di mana ada seorang sedang membaca buku.

Lelaki itu terlihat berpikir.

"Udah jangan banyak mikir, lo tinggal ajak dia pacaran abis itu lo putusin," ujar Dew enteng.

Bright menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk ringan. "Oke, gue akan lakuin dare ini. Bakal gue tunjukkin ke kalian kalau gue Bright Bumantara adalah seorang lelaki sejati."

Bright berlajalan mendekat ke arah pemuda yang berada di bangku depan. Kemudian tanpa izin duduk di samping pemuda itu.

"Win, lagi apa?" tanya Bright basa-basi.

Win tak menghiraukan Bright dan sibuk dengan buku di tangannya.

Anjir gue dicuekin, batin Bright mengumpat.

"Win gue lihat PR lo dong, gue lupa ngerjain." Bright memberikan cengiran tak berdosanya.

Sejenak Win berhenti membaca, ia melirik Bright sekilas lalu kembali fokus pada buku yang ia baca.

"Win, ken–"

"To the point aja, mau lo apa? Enggak usah basa-basi," ujar Win tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca.

Bright menggaruk tengkuknya seraya tersenyum canggung.

"Jadian yuk!"

Lagi-lagi Win berhenti membaca. Namun, kali ini netranya tidak berpaling dari bukunya.

"Lo mau 'kan jadi pacar gue?"

"Gue enggak ada waktu buat hal enggak penting kayak gitu," jawab Win lugas.

"Rugi kalau lo nolak gue." Entah kenapa hati Bright merasa tidak nyaman ketika Win menolak dirinya tanpa berpikir.

Win menutup bukunya dan menaruhnya ke samping, kini atensi pemuda itu sepenuhnya pada Bright.

"Gue enggak peduli." Win menatap Bright datar seolah berbicara dengan orang di depannya itu bukan hal penting dan hanya membuang waktu.

Menarik, batin Bright berpikir.

Ini akan menjadi permainan yang menarik. Adrenalin dan ego-nya sebagai lelaki terpancing untuk mendapatkan Win dan menaklukkan pemuda itu.

Bright mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Win. "Kita lihat nanti, tunggu aja."

Setelahnya lelaki itu pergi meninggalkan Win yang lanjut membaca bukunya, mengabaikan perkataan Bright seolah itu bukan apa-apa.

Hari semakin sore dan langit perlahan bertambah gelap tanda hujan akan turun. Win masih menunggu bus lewat di halte.

Seperti cerita klasik di novel, Bright datang dengan motor vespa kesayangannya.

"Kiw cowok, sendirian aja nih? Sini Abang temenin."

Win tidak menggubris Bright sedikitpun dan hanya fokus pada ponselnya.

Bright merengut, ia menghampiri Win. "Win gue ngomong sama lo. Hirauin gue kek, jangan diem aja."

"Lo bisa enggak sih berhenti gangguin gue? Gue enggak punya waktu buat ladenin omong kosong lo."

Bright tersenyum senang, ia mengusak surai Win yang mana langsung ditepis oleh pemuda itu. "Akhirnya lo ngomong juga. Pulang bareng yuk, gue anter sampe rumah dengan selamat." Bright mengedipkan sebelah matanya.

Win berdiri dan berjalan menuju motornya. Hal itu sontak membuat Bright senang.

"Nah gitu do–eh Win mau ke mana?" tanya Bright bingung saat Win melewati motor vespanya.

Win terus berjalan tanpa menghiraukan Bright, sampai tangannya ditarik dan dibawa ke pelukan seorang.

Mereka berguling di pinggir trotoar jalan. Mata Win terpejam, tetapi ia merasa hangat. Saat membuka mata Win akhirnya tahu alasan kenapa tubuhnya merasa hangat, ada Bright yang memeluknya.

Namun, sebelum ia bisa mencerna apa yang terjadi, ia sudah disuguhi pemandangan Bright yang marah atau–khawatir?

"Lo kenapa sih? Kalau nyebrang lihat-lihat! Lo mau mati hah?"

Bukanya menjawab Win malah mengulurkan tangannya ke pelipis Bright yang sedikit tergores dan berdarah. "Apa itu sakit?"

Bright terpaku, netranya menelusuri setiap fitur wajah Win dan berhenti di iris cokelat cerah pemuda itu. Sesaat Bright tenggelam di dalamnya. Sebelum kesadaran datang menghampirinya.

"Lo kalau mau mati jangan di depan gue!"

"Maaf."

"Enggak! Gue enggak mau maafin lo, gue baru akan maafin lo kalau lo mau jadi pacar gue." Bright menatap Win dengan seringainya.

"Gue enggak peduli mau lo maafin gue apa enggak."

"Lo punya utang budi sama gue omong-omong, dan gue orangnya pamrih."

"Bright sialan!" umpat Win kesal.

Sedangkan Bright tertawa penuh kemenangan.

"Jadi, gimana? Enggak perlu lama-lama cukup satu bulan. Kalau dalam waktu itu lo enggak ada perasaan sama gue, Lo bisa putusin gue dan gue akan berhenti gangguin lo. Gimana?"

Win terlihat berpikir sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, gue setuju."


Hallo guys, akhirnya setelah sekian lama gue memutuskan untuk kembali menulis.

Semoga gue bisa selesain cerita ini dengan baik.

Di cerita ini kalian akan gue kenalkan siapa itu Bright Bumantara dan Arwin Chandra. Serta hubungan seperti apa yang mereka punya.

Semoga kalian tidak bosan menemani Bumantara dan Chandra dalam menemukan titik perjalanan dari hidup mereka. Termasuk perasaan mereka yang masih belum jelas, alias abu-abu.

Temani aku sampai aku bisa melengkapi puzzle yang hilang dan menyempurnakannya ya? sehingga Bumantara dan Chandra kembali utuh dan sempurna.

Sampai jumpa di chapter selanjutnya 💚🤍

22 Jan 2023






Bumantara Chandra [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang