Tujuh

312 48 7
                                    

Bright yang baru sampai rumah langsung memarkirkan vespanya di garasi.

Sama seperti Win, suasana rumah Bright tak jauh berbeda. Hanya ada sunyi dan sepi.

Bedanya, Win sendiri sedangkan di rumah Bright masih ada asisten rumah tangga. Sehingga tidak membuat rumah itu sepenuhnya mati.

Bright sudah terbiasa dan pernah dipaksa untuk terbiasa dengan suasana rumahnya yang terkesan tanpa kehidupan di dalamnya.

Jarang sekali ada kehangatan, nyaris tidak ada obrolan. Bahkan Bright sampai lupa kapan terakhir kali ia mendengar tawa menggema di rumah itu.

Terlebih ketika menjelang malam.
Bukan hanya sepi dan sunyi, tetapi dingin pun ikut serta menemani Bright.

Jangan tanya ke mana orang tuanya, karena Bright tidak akan menjawabnya. Tidak akan pernah.

Orang tuanya masih hidup dan lengkap.

Namun, mereka tidak utuh.

Hal paling ia benci adalah ketika dihadapkan oleh pilihan yang paling menyulitkan. Ia tidak suka memilih.

Jadi lebih baik ia sendiri. Tidak dengan siapa pun. Baik ayah ataupun ibunya, Bright tidak mau. Bright inginnya bertiga, bukan berdua.

Kenapa dia harus memilih?

Tinggal sendiri rasanya lebih baik, meski ia harus merasakan kesepian setiap harinya.

Bohong jika Bright tidak berharap keluarganya kembali utuh, setidaknya harapan itu masih ada. Meski sekecil api di ujung lilin. Setidaknya api itu masih menyala hingga saat ini.

Entah Bright pun tidak tahu sampai kapan api itu akan tetap menyala.

Setidaknya lilin itu belum habis.

Meskipun kedua orangtuanya telah berpisah, tetapi mereka tidak menelantarkan putra mereka. Sesekali mereka menjenguk Bright di waktu yang berbeda.

Bright yang tidak mau memilih untuk ikut salah satu dari mereka menjadikan ia tinggal sendiri di rumah yang dulunya mereka tinggali bersama.

Tinggal bersama kenangan-kenangan yang akan terasa sulit untuk diulang kembali.

Tak apa. Setidaknya ada hal yang bisa ia kenang. Meskipun tidak semuanya indah.

Namun, ada.

Tinggal sendiri di rumah sebesar itu kadang membuat Bright bosan. Seringnya ia main ke luar untuk mengobati jenuh.

Sebagian besar waktunya ia habiskan bersama sahabat-sahabatnya.

***

Entah angin dari mana, malamnya kembali ke kafe tempat Win bekerja. Ia ingin melepas suntuk karena terlalu suntuk di kamar. Biasanya Bright akan pergi ke rumah salah satu sahabatnya atau mengajak ketiga sahabatnya untuk nongkrong.

Namun, kali ini berbeda. Orang yang ingin ia temui bukan mereka, melainkan Win. Ia ingin melihat wajah pemuda itu.

Mengobrol dengan pemuda itu bukan hal yang buruk, pikirnya.

Bright masuk ke dalam kafe itu dan mencari tempat duduk yang kosong dan Paling dekat dengan dinding kaca.

Netra Bright menelusuri setiap sudut, mencari seseorang yang membawanya ke tempat itu. Senyum Bright merekah kala Win datang menghampirinya.

Tidak seperti bayangannya, ekspresi Win tidak menampilkan keterkejutan saat melihat dirinya. Seakan pemuda itu tahu jika dirinya akan datang.

Padahal Bright menantikan ekspresi itu di wajah Win. Bright sudah membayangkan bagaimana ekspresi terkejut Win ketika melihat kehadirannya.

Bumantara Chandra [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang