Pena yang kugenggam, dan ada beberapa buku tulis sebagai media catatku, alunan instrumen lo-fi menyihir fokusku untuk menulis. Coretan pena terbayang aroma pedih dari luka itu, teringat semua memori di kepalaku. Pena yang kutulis seolah berkata bahwa ia lebih bergairah jika aku mencoret buku yang entah sebenarnya apa yang aku tulis.Aku mengingat beberapa cerita tentang pria yang berjuang dalam hidupnya. Aduh, aku lupa judulnya sebenarnya. Sejak membaca dan mengingat cerita tentang pria itu, aku kerap berpikir bahwa pria itu sama denganku. Sebetulnya, pria itu tidak benar-benar mati. Dia hanya tidak ingin menghadapi kehidupan yang ada di hadapannya, karena aku bingung dengan hal-hal apa yang sebenarnya dia hadapi. Apapun itu, aku yakin betul bahwa sesuatu yang membantunya bertahan hidup, atau menghindari tindakan bunuh diri secara tiba-tiba.
Saat aku menulis cerita ini, terpikirkan juga beberapa hal tentang perjalanan hidupku sendiri. Entah bagaimana aku masih bisa tetap hidup sampai sekarang.
Pikiranku saat menulis melompat-lompat, tiba-tiba teringat adegan pembuatan film di mana aku berperan sebagai kameramen saat masih sekolah dulu. Dan mungkin aku masih mengingat beberapa kejadian itu dengan dialognya seperti ini: "...dalam pertarungan ini, tunjukkan siapa yang paling kuat. Apakah kita akan kalah bersama atau aku yang akan menang?" Kurang lebih begitu. Apakah kita juga harus berjuang dalam kehidupan? Melakukan segala sesuatu demi bertahan hidup?
Di meja yang berantakan dengan banyak buku novel dan buku referensi lainnya, tak peduli apa yang terjadi pada pikiranku saat aku menulis cerita tentang pengalaman itu. Membayangkan beberapa siluet pribadi lain dengan sosok yang dingin, bisu, dan berdarah dingin, tiba-tiba aku merinding saat melihat seringai tatapan kosong itu mengarah padaku.
Usiaku 22 tahun, beberapa orang terdekatku telah pergi meninggalkanku. Sahabat, kerabat, teman masa kecil, semuanya terasa hilang begitu saja. Hidupku terasa seperti lelucon bagi seorang pecundang. Bertahun-tahun menjalani bimbingan konseling dan berusaha mengidentifikasi diri. Hanya untuk memperbaiki diriku sendiri. Aku mulai bisa menerima kenyataan dan ingin pulih seperti dulu. Namun, memori itu selalu terbayang setiap malam seperti film dengan jadwal rutin. Jujur, itu sangat mengganggu. Apakah aku benar-benar menerima dan pulih dari bayang-bayang penderitaan masa lalu?
"Haha!"
Ya Tuhan, aku membenci tapi juga mencintai teman masa kecilku. Semua kenangan bermain bersama tak bisa ku lupakan. Dia tahu bagaimana menenangkan diriku saat sedih dan merana.
"Aduh!"
Air mataku mulai mengalir tapi bibirku tetap tersenyum. Aku memandang pena dan buku tulis yang tergeletak di depanku. Pena itu seolah membisikkan arahan padaku dan ke organ vitalku yang lainnya. Bisikan itu berbicara tentang pribadiku yang berusaha sebaik mungkin, tapi tetap saja aku salah di hadapan orang yang tidak tepat. Akhirnya, ujung pena memilih langkahnya. Dengan sabar dan perlahan, ia menusuk ke arah nadiku.
Semua kenangan terjadwal membuatku muak! Hei, berhenti! Aku belum ingin mati karena tusukan nadi ini. Aku masih ingin menikmati hidup!
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia dan Coretannya [TAMAT] - Revisi
Non-FictionKisah perjalanan menuju kesempurnaan penerimaan diri karena memiliki perspektif paling puitis dan melihat kebiasaan, ketakutan, dan penderitaan orang serta tubuh yang gemetar. Perjalanan pencarian jati diri menuju kesempurnaan penerimaan diri. Entah...