8. Mati

43 9 1
                                    

2023 tahun penuh perubahan pada. Hidup, waktu yang cukup panjang mengizinkan aku untuk terus menulis. Tanpa ada halangan meski pikiran menganggu. Derai air mata pun tak pernah turun. Bangkit dari tempatnya, merasa terpuruk terurai oleh kata per kata.

Mungkin, beberapa dari orang akan mengatakan bahwa mati adalah cara terbaik. Tapi apa salahnya memikirkan beberapa hal tentang kematian? Bukankah itu hal yang istimewa? Maksudku, kesempatan untuk hidup hanya sekali. Jadi aku harus bisa menciptakan banyak peluang abadi, termasuk karya tulis.

Kata orang, hidup untuk sekali. Tetapi aku bisa hidup dengan abadi karena karya tulis yang aku abadikan selama aku hidup. Sampai akhirnya aku harus menghembuskan nafas terakhirnya. Aku kembali ke jalan dimana memang aku ditetapkan, maksudnya.. aku yang memiliki tempat di dimensi berikutnya.

Kematian, semua orang tau itu adalah takdir yang pasti. Kapan waktu itu akan tiba, semestinya aku harus tidak ada lagi di dunia. Entah apa Tuhan izinkan aku untuk kembali hidup, hidup dari sebuah kata mati untuk selamanya.

***

2014, Sekolah menengah pertama.

Semenjak pertama masuk sekolah, aku mendapatkan teman-teman yang begitu baik kepadaku meskipun tidak semua adalah orang yang benar-benar peduli denganku.

Pagi itu seperti biasa, aku datang selalu dengan waktu mepet dengan waktu sekolah masuk atau bel sekolah yang menandakan bahwa bel masuk telah berbunyi. Karena rumah dan sekolah saat itu sangatlah dekat, sekitar 500 meter dari rumah untuk pergi ke sekolah.

Paginya, aku duduk di bangku dan mulai mengerjakan beberapa tugas atau pr yang belum aku selesaikan. Menunggu guru masuk kami sekelompok ada sekitar 4 orang mengerjakan tugas yang belum rampung secara cepat atau kami menyebutnya sebagai the power of kepepet.

"Jov, bagi pr matematika dong"

"Bentar, gw belum ngerjain beberapa sih"

"Nih"

Kami pun mengerjakan tugas matematika yang seharusnya kami kerjakan saat kami di rumah, tetapi kamu terlalu malas untuk mengerjakannya. Sehingga kami mengerjakan tugas rumah atau PR tepat mengerjakannya di sekolah.

Pagi yang cerah dihari itu seperti tidak ada badai yang ingin menghampiri diriku, aku yang berbeda dari murid lain masih sering menggunakan pensil dibandingkan dengan bolpoin atau pulpen.

Aku paling takut dan akan merasakan rasa sakit dimata ketika aku menggunakan bolpoin atau pulpen itu sendiri. Maka dari itu aku mengerjakan tugas matematika dengan pensil karena aku akan merasa kurang nyaman ketika menggunakan alat tulis itu.

Beberapa menit seletah bel masuk, kami merapihkan buku yang berserakan di meja kami. Menyembunyikan pekerjaan rumah atau PR kami seolah-olah kami baru saja mengeluarkan buku itu untuk kami belajar.

Segala gimik yang kami usahakan untuk meminimalisir ketahuan jika kami belum mengerjakan pekerjaan rumah matematika akhirnya dapat kami manipulasi dengan meyakinkan guru bahwa kami baru saja duduk di bangku ini lantaran tadi kami dari luar kelas dan kami masih menggendong tas sekolah kita di depan halaman sekolah.

"Shen (Cen), kamu ga ngerjain pr lagi dari ibu?"

"Eh.. nggak Bu, aku udah ngerjain kok di rumah"

"Bohong, itu buktinya kamu lagi buka buku tulis buat ngerjain pr ya!"

"Nggak bu! Kami bertiga udah mengerjakan, dan sekarang sedang berdiskusi untuk memastikan PR kami tidak ada kesalahan". Untungnya Temanku Fajar berhasil meyakinkan bahwa kami benar-benar sedang berdiskusi tentang pelajaran.

Manusia dan Coretannya [TAMAT] - Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang