Di waktu sekarang, aku berusia 7 tahun saat aku berada di kelas 1 SD, tepatnya semester 2. Aku mulai terbiasa dengan lingkungan baru dan secara perlahan mulai terbiasa dengan beberapa hal di sekolah. Beruntungnya, dengan dorongan dari keluarga dan wali kelasku, aku bisa maju menghadapi kehidupan di neraka kecil ini, yaitu sekolah.
Saat-saat awal aku bersekolah, kalian ingat kan? Aku dengan kecengenganku tidak bisa ditinggal oleh ibuku sendiri karena rasa cemas dan takutku begitu besar. Layaknya ada alarm dalam diriku yang memberikan pesan singkat, "Selamat datang di neraka, Nak!" Ya, selama beberapa minggu setelah masuk sekolah, dengan kebodohanku, aku mulai mengikuti les bersama wali kelasku sebelum masuk ke kelas.
Ada sekitar 3-5 murid yang belajar bersamaku di pagi hari sebelum bel kelas pertama dimulai. Kami belajar di teras atau dalam musholla, dan terkadang kami belajar di perpustakaan di belakang kelas, dekat kantin. Ada beberapa hal yang kudapatkan di sana, aku belajar membaca, menulis, dan berhitung cukup baik dibandingkan saat masih di TK.
Aku sempat tidak habis pikir mengapa aku bisa belajar membaca dengan cukup baik saat itu, walaupun tidak langsung dengan cepat. Sama sekali tidak seperti kakakku yang jauh lebih cepat dalam belajar segala hal akademik. Aku sering kali merasa tertinggal dibandingkan dengan kakakku sendiri.
Dalam hal akademik, jika dibandingkan dengan dirinya, seperti langit dan bumi. Namun, wali kelasku saat itu mengatakan sesuatu yang masih kuingat sampai sekarang, "Teman-teman dan kakakmu mungkin lebih unggul darimu, tetapi sebenarnya kamu lebih dari mereka." Begitulah pesan yang disampaikannya padaku saat aku masih SD kelas 1. Aku juga tidak tahu sebenarnya maksud dari perkataannya. Sepertinya itu mustahil.
Namun, sebagai Cen kecil, aku menganggap kata-kata itu keren dan itu membuatku sedikit termotivasi saat belajar. Meskipun jika kembali dipikir sekarang, itu tidak sesuai dengan kenyataan bahwa setiap orang memiliki potensi dan wadah yang berbeda-beda. Bergantung pada apakah wadah itu sudah penuh atau tidak. Namun, mari kita kembali ke cerita saat aku, Cen kecil, mulai bisa membaca sedikit demi sedikit.
Saat awal masuk sekolah dasar, dirumah aku diberikan instruksi dan nasehat dari papaku. Seingatku, kira-kira begini, "De, jika ada yang mengganggumu, pukul saja! Oh ya, cuekin saja apa yang dikatakan orang-orang seperti itu. Mereka iri karena beda." Begitulah yang dikatakan pada Cen kecil. Pada saat itu, aku yang tidak tahu bagaimana cara bertarung, hanya mengiyakan apa yang dikatakan papaku. Meskipun aku sendiri tidak tahu apa yang dimaksud, aku berusaha untuk memahaminya, walaupun otakku terbatas. Kemudian, mamaku ikut berkomentar.
"Heh, tidak boleh memukul orang! Kamu mengajari apa sih pada Dede!" Komentar spontan dari mamaku untuk papaku.
"Ya kan, jika diganggu dan sudah terlalu jauh, jangan diam saja. Jangan tunjukkan kelemahan kita!" Komentar papaku kepada mamaku.
Setelah beberapa perdebatan ringan antara suami dan istri ini, tubuhku tiba-tiba gemetar karena ada nada tinggi di antara mereka. Aku pun panik dan berusaha menenangkan mereka berdua, tetapi karena kebingungan, kakakku yang sedang belajar melihat ke arahku dan kedua orangtuaku.
Pada saat itu, aku hanya bisa diam dan menangis karena takut mereka bertengkar terlalu serius. Tetapi tangisanku yang cengeng berhasil menghentikan mereka. Meskipun kakakku sering mengolok-olok bahwa aku, sebagai laki-laki, cengeng.
Tetapi, sukur pertengkaran mereka berhasil aku hentikan. Padahal itu hanya perdebatan kecil saja. Menurut kakakku, aku terlalu lebay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia dan Coretannya [TAMAT] - Revisi
No FicciónKisah perjalanan menuju kesempurnaan penerimaan diri karena memiliki perspektif paling puitis dan melihat kebiasaan, ketakutan, dan penderitaan orang serta tubuh yang gemetar. Perjalanan pencarian jati diri menuju kesempurnaan penerimaan diri. Entah...