5. Siapa?

46 10 0
                                    

2023, sekarang.

Aku seperti biasa menulis di atas meja belajar, dan menulis beberapa permasalahan dalam catatan digital. Mengingat semua kejadian berlalu begitu cepat. Aku juga memikirkan beberapa cara agar aku bisa mengontrol pikiran secara penuh, tanpa ada gangguan dari anomali atau keanehan yang ada dalam raga ini.

Pasti mayoritas dari manusia yang aku kenal, sudah dipastikan mereka tidak akan mempercayai apa yang sudah aku alami. Lantaran mereka hanya melihat bahwa aku benar-benar baik-baik saja. Bahkan orang tua sendiri tidak percaya bahwa hal itu benar-benar ada.

Pertengkaran aku dengan Papa saat pertama kali aku pergi ke dokter umum untuk meminta surat rujukan khususnya kepada spesialis kejiwaan (sebutlah dokter jiwa atau psikiater). Tepatnya belum lama ini, sekitar tanggal 27 Februari 2023. Kami pergi ke klinik k*mia Farma yang tidak jauh dari rumah.

Awalnya aku pikir papa akan mendukung bahwa aku benar-benar tidak bisa untuk melanjutkan perkuliahan, tapi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Dia menyepelekan apa yang aku rasakan.

Maksudku begini, ketika kami pergi ke dokter umum. Dan sudah ada hasil diagnosa sementara atau fase pertama, sudah jelas-jelas disana tertulis "Other anxienty disorder (F1)" atau secara harfiah berarti "depresi dan kecemasan secara menyeluruh". Apa yang aku harapkan ternyata tidak sesuai ekspetasi, lagi dan lagi aku terkena ceramah yang begitu menohok dan merasa lara baru dalam batin hidup untuk kesekian kalinya.

Saat aku memeriksa, dan konsultasi dengan dokter umum. Sebelum bisa mendapatkan sebuah surat rujukan, aku harus menceritakan apa yang ada di dalam kehidupan dan apa yang aku rasakan.

"Halo, kamu kenapa? Gimana kabarnya?". Tanya Dokter itu kepadaku.

"Begini Dok.. saya sudah lama menderita hal ini. Saya pikir saya harus bisa berobat agar saya bisa stabil."

"Apa yang kamu rasa? Bisa ceritakan secara spesifik?"

"Iya, jadi sejak kecil saya pernah menjadi objek pembulian. Semua memandang saya sebagai anak aneh, dan beberapa anomali pada tubuh ini juga terasa jelas. Apa yang sudah saya alami itu di luar nalar."

"Baik, ada lagi?". Dokter itu sambil menulis beberapa hal yang berkaitan dengan diri ini.

"Ada, bahkan dulu saya juga takut menggunakan bolpoin karena beberapa trauma yang berkaitan dengan bolpoin itu sendiri. Mangkanya dari saya duduk di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah kejuruan, saya lebih terbiasa menggunakan pensil ketimbang bolpoin. Lantaran terasa sakit dan mengingat semua hal seperti baru saja terjadi."

"Oke, jadi kamu merasakan hal seakan itu baru saja terjadi pada waktu dekat ya? Serta kamu juga merasa sakit yang sama ketika kamu memegang bolpoin. Begitu kan?"

"Benar, saya juga terkadang suka tidak sadar telah melakukan sesuatu. Kepala begitu berisik. Saya juga bisa melihat diri saya yang lain tapi dengan wujud berbeda."

"Oke, cukup.. Jadi gini Pak.. anak bapak itu memiliki banyak trauma yang begitu berat. Sehingga masih ada luka yang ada di batin dirinya."

Ketika aku mendengar respon baik dari Dokter aku turut ikut lega dia bisa mengerti apa yang telah aku lalui. Tapi entah atmosfer ruangan tiba-tiba terasa berat, seketika Papa ku seperti memberikan motivasi namun tidak melihat keadaan anaknya sendiri.

Terasa seperti di dorong ke sudut ruangan, serangan psikologi dari Papa berkesan "superior" dan dia menendang kaki kiri untuk aku tidak cerita soal masalah internal. Karena sebelum dokter merespon hal yang positif sempat bicara seperti ini "selain tekanan dari luar, apakah ada tekanan dari dalam? Maksudnya dari keluarga?". Aku yang sudah di berikan kode agar tidak membicarakan tentang keluarga, papa dengan nyeletuk bicara seperti ini "Nggak, saya ga pernah memberikan tekanan dari dalam. Sejauh ini keluarga dukung anak saya kok!". Seolah-olah Papa telah lupa apa yang dia sering katakan dan seakan tidak memiliki dosa sebutir biji zara.

Manusia dan Coretannya [TAMAT] - Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang