Lonceng pintu berbunyi seiringan Ivy membuka pintu. Tembok dan lantainya menggunakan kayu. Ada sedikit ukiran-ukiran di bagian dindingnya. Cahaya lampu remang-remang menambahkan kesan antik.
Bar itu tergolong ramai. Banyak pelanggan bercakap satu sama lain. Hampir semua meja penuh. Ivy menguatkan pegangan tudungnya.
"Orang itu yakin ingin mengobrol di tempat ramai seperti ini?" Ivy bergumam kecil.
Ivy tidak bergerak dari tempatnya sama sekali. Seorang pelayan menghampiri dirinya.
"Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan bar.
Ivy tersentak. "A-Ah iya." Ivy memperdekat jarak dirinya dengan si pelayan bar.
"Aku ingin memesan Golden Egg."
Ivy memastikan agar suaranya tidak menarik perhatian orang sekitar. Pelayan tersebut membelalak. Dia segera menuju kepada pemilik bar yang tengah sibuk melayani pelanggan lain.
Mereka berdua bisik-bisik lalu melihat ke arah Ivy. Pemilik bar langsung menaruh gelas yang sedang dipegangnya dan mendatangi Ivy.
"Tamu yang terhormat. Mari saya antarkan ke tempat yang Anda tuju." Kepala bar membawa Ivy ke ruang pertemuan. Lorong yang tadinya ramai perlahan menjadi sepi hingga tidak terlihat seorang pun lagi.
Dia mengetuk pintu. "Tuan, tamu anda telah tiba."
Pintu terbuka. Sosok orang dari balik pintu juga sama seperti Ivy. Meja berada di tengah ruangan. Orang itu duduk sambil mengenakan tudung. Terang ruangan juga tidak terlihat begitu jelas.
Ivy bahkan tidak bisa melihat jelas sosok di hadapannya karena dia juga menutupi wajah dengan kain.
"Apakah dia tidak sesak?" ucap Ivy dalam hati. Ivy menepis pikiran aneh yang muncul. Bisa-bisanya dia memikirkan hal seperti itu.
Ivy masuk. Mereka hanya berdua dalam ruangan.
"Silakan nikmati waktu Anda." Kepala bar pergi. Pintu telah tertutup. Orang itu tidak angkat bicara sampai suara derap kaki dari lorong menghilang.
"Duduk," perintah sosok di hadapannya tegas. Dari suara yang berat dan sedikit serak, tampaknya dia adalah seorang pria.
"Tidak. Aku akan duduk disini saja." Ivy tidak berani duduk dekat-dekat. Dia masih tidak tahu entah apa trik yang akan dikeluarkan oleh pria tersebut. Lagipula Ivy juga membawa tongkat pendek yang diikatkan pada paha, dia takut bahwa pria itu akan mengetahuinya.
"Sesukamu saja," dengusnya.
"Jadi, apa maksud anda mengundang saya ke sini?" Ivy memegangi ujung surat yang telah dikirimkan kepadanya.
"Bekerja samalah denganku untuk menjatuhkan kepala keluarga Rognvaldr yang sekarang."
Ivy membelalak. Hal absurd apa yang orang ini katakan?
Gadis itu mencoba tenang. Ivy harus bisa mengorek informasi demi Asher. Dia sudah berjanji untuk membantu Asher.
"Apa imbalannya?" tanya Ivy berpura-pura ikut dalam alur pria tersebut.
"Harta. Kau akan dapat pembagian harta keluarga Rognvaldr. Saya juga akan memberikan tunjangan yang cukup selama Anda hidup."
Orang ini pasti kehilangan akal sehat. Apakah dia pikir bisa menarik Ivy ke pihaknya menggunakan harta? Apalagi harta itu bukan miliknya. Namun, dari keluarga Asher.
Ivy tentu saja tidak akan tega kepada Asher. Apalagi dia mengenal laki-laki itu sedari kecil meskipun sempat berpisah. Ivy tidak akan mengikuti sesuatu yang menurutnya salah.
"Saya menolaknya," jawab Ivy tegas.
"Bagaimana kalau saya menawarkan dukungan atas nama keluarga Rognvaldr apabila rencana ini sukses?"
Ivy menepuk telinganya sedikit. Dia tidak salah dengar bukan?
Orang ini menjanjikan dukungan atas nama Rognvaldr yang berarti posisi Asher sebagai pewaris keluarga terancam bahaya. Apakah dia berencana untuk membunuh Asher?"Maaf. Saya telah mengatakannya tadi. Saya menolak." Jawaban Ivy tidak akan pernah berubah sebanyak apapun jaminan yang akan ditawar oleh orang itu. Asher yang paling utama bagi Ivy.
"Dasar gadis tak tahu diri!" Tiba-tiba saja pria itu berteriak menggebrak meja.
"Saya, sudah cukup baik hati menawarkan hal yang begitu mewah, ketahuilah posisimu. Anak pungut."
Pria ini sangat tidak sopan! Ivy lebih baik meninggalkan ruangan ini daripada mendengarkan pembicaraan tidak masuk akal.
"Kau pikir saya tidak tahu bahwa anda adalah anak yang ditemukan Count saat perjalanan? Memalukan saja. Kenapa Count mengangkat anak sepertimu?"
Makin lama perkataan orang itu semakin pedas. Sakit hati Ivy mendengar makian sosok itu. Walau Ivy anak angkat Count Aretha, justru kehidupan selama tinggal di sana merupakan masa-masa yang paling membahagiakan. Ivy sangat dicintai.
Keluarga Count juga menerima Ivy apa adanya. Ini sama saja seperti menghina keluarga Aretha dengan mempertanyakan keputusan Count mengadopsi Ivy.
Ivy meraih gagang pintu yang berada tidak jauh darinya.
"Saya rasa pembicaraan kita sudah cukup sampai di sini," salam Ivy menyudahi pembicaraan. Untungnya pintu tidak dikunci oleh pemilik bar. Ivy dapat keluar tanpa khawatir harus menggebrak. Tentu saja itu akan menarik perhatian pengunjung bar apabila Ivy harus menggedor.
"Silakan saja pergi! Maka, kau akan menyesal karena telah menolak tawaran saya!"
Ivy tidak peduli lagi atas segala sumpah serapah yang dikeluarkan pria itu dari balik ruangan. Cepat-cepat Ivy meninggalkan bar. Dia harus kembali ke kediaman.
***
Ivy kembali dengan cara metode sama saat dia menyelinap keluar dari kediaman Count. Dia bernapas lega setelah sampai di atas dengan selamat.
"Aman." Gadis itu menyeka keringatnya. Ivy tidak tahu saja bahwa ada seseorang sudah bersiap memangsa buruannya.
Dari belakang, orang yang menunggu Ivy kembali sigap memegang kedua bahu Ivy.
"Ivy ...!"
Ivy bergedik saat ia mendengar suara orang yang diketahui olehnya dengan sangat baik.
"M-Ma-Maafkan aku ...," mohon Ivy sebelum membalikkan kepalanya memandang orang tersebut.
Mata Emer sudah berapi-api. Siap meledak kapan saja. "Putri! Dari mana saja kamu? Kamu tidak tahu aku mengkhawatirkan mu?"
Ivy memeluk kaki Emer. "Tolong jangan katakan pada Count dan Countess bahwa aku menyelinap keluar malam ini." Wajahnya mengeluarkan jurus rayuan maut.
"Putri itu tuh ...! Memang dari dulu suka menghilang tanpa jejak, tidak kenal takut, sesuka hatinya melakukan hal-hal berbahaya," marah Emer berkacak pinggang.
Ivy tertohok dengan poin-poin yang disebutkan Emer, tetapi memang benar apa adanya dia seperti itu.
Ivy membuat tatapan memelas kepada Emer.
"Maafkan aku ya? Ya? Besok-besok aku bilang kalau pergi lagi deh hehe." Tatapan memelas Ivy tidak akan mempan kepada Emer. Sudah berapa banyak Emer tertipu dengan wajah imut itu.
"Kamu sering bilang begitu kepadaku, tapi tidak dilakukan, tuh?" sindir Emer.
Emer hanya tidak ingin Ivy kenapa-napa karena dia juga sudah melayani Ivy cukup lama. Emer dan Ivy sudah seperti saudara bagi satu sama lain.
Keadaan Ivy saat ini sudah seperti anak kucing yang ditelantarkan. Dia memanyunkan bibirnya. Emer memegang dahi dan menghela napas panjang.
"Aku akan tetap diam. Dengan syarat ... kamu harus menceritakan semua yang kamu lakukan tadi sampai harus menyelinap keluar."
Emer tidak ambil pusing lagi. Dia akan hanya fokus alasan Ivy keluar malam-malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Identity of Asher
Historical Fiction"Seharusnya, hari itu kamu mati ...!" Asher adalah seorang anak yang tinggal di panti tidak jauh dari Desa Lacock, Inggris. Pengadopsiannya mengharuskan Asher pergi. Hidup yang sulit membuat Asher pupus harapan hingga akhirnya roda kehidupan memper...