"Apa yang baru saja kamu lakukan!?" Secara spontan suara Emer meninggi setelah mendengar hal yang baru saja dilakukan oleh Ivy.
"K-Kecilkan suara kamu sedikit, Emer." Ivy meletakkan telunjuk jari di depan bibir Emer. "Aku tidak ingin memancing keributan malam hari di kediaman Count."
Emer menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir, mengapa Ivy nekat sekali melakukan hal berbahaya. Padahal dia tahu bahwa itu akan melukai dirinya.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Ivy?" tanya Emer bersungguh-sungguh. Emer tidak ingin Ivy tidak mempersiapkan rencana apapun sebelum bertindak.
"Bagaimana kalau ... saya menjadi saksi mata tentang hal yang baru saja kamu katakan?" cetus Emer.
"Tidak. Aku akan menulis pernyataan. Kamu yang menyerahkan kepada Asher nanti bila sesuatu terjadi," tolak Ivy.
"Mengapa ...?"
"Dari yang aku pelajari selama ini, bangsawan selalu memperhatikan status. Bila Emer yang merupakan pelayan dari Ivy, tidak akan ada yang percaya dengan pernyataanmu. Itu bisa menjadi pisau mata dua sisi. Kamu dicap sebagai pembohong, atau bahkan pelakunya." Ivy memeluk Emer.
"Dan aku, tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi. Tidak selama kamu menjadi orangku."
Hati Emer terenyuh akan perkataan Ivy. Dia tidak menyangka bahwa dirinya akan bermakna sedalam itu bagi seorang Ivy. Emer membalas pelukan Ivy.
"Kamu juga, harus terus sehat. Aku akan marah besar loh kalau kamu sampai terluka."
Ivy tertawa kecil. "Tentu saja! Siapa lagi yang akan melindungimu apabila bukan aku?"
Malam mereka habiskan dengan bertukar cerita satu-sama lain. Sesudah hari itu tidak ada pergerakan aneh sedikit pun dari orang yang mengancam Ivy.
***
Tak ... Tak ... Tak .... Bising derap kaki memecah kesunyian pagi. Emer membawa surat mewah penuh corak dalam genggamannya. Dia membuka pintu kamar Ivy pelan.
Di hadapannya, gadis rambut bergelombang hazelnut tersebut masih nyenyak dalam dunia mimpinya. Emer menarik selimut Ivy.
"Putri, bangun ...!" Emer menggulung selimut yang ditariknya ke tangan.
"E-mnnn ... lima menit lagi, Emer ...," balas Ivy singkat. Mata gadis itu masih menutup dengan rapat. Baru beberapa detik berlalu, sudah tidak ada tanda-tanda bahwa Ivy akan beranjak dari tempat tidurnya.
Emer mendekatkan wajahnya ke telinga Ivy. "Putri. Bukannya hari ini kamu akan keluar bersama Marquis muda keluarga Rognvaldr?"
Sebuah dehaman keluar dari mulut Emer. "Coba saja kalau Marquis muda itu tahu bahwa putri Count Aretha sangat sulit untuk bangung pagi ...." Emer meletakkan telapak tangan di pipi dengan ekspresi pasrah.
"A-aaa, iya, iya. Aku akan bangun Emer!!" Ivy sekuat tenaga melepaskan dirinya dari tarik magnet kasur. Dia duduk, masih dalam proses pengumpulan nyawa.
"Nah, begitu putri." Senyum merekah dari bibir Emer.
"Ini, tadi ada surat undangan yang dikirimkan kepadamu. Aku letakkan di meja samping tempat tidurmu ya," ucap Emer sambil menaruh surat.
"Aku akan menyiapkan air mandi terlebih dahulu untuk putri. Teh juga sudah tersedia di meja bersama surat. Silakan dinikmati selagi menunggu air mandinya hangat." Emer meninggalkan ruangan.
Ivy mengucek pelan matanya. Nyawa milik gadis itu perlahan muncul. Pandangan yang sebelumnya buram sudah mulai jelas. Ivy mengambil cangkir teh di atas meja, menyeruputnya.
Memang keahlian Emer membuat teh tidak diragukan lagi. Sangat luar biasa bahkan untuk Ivy yang telah menikmati sejak masuk ke mansion. Puas menikmati teh buatan Emer, Ivy meletakkan cangkir. Sekarang dia membuka undangan itu.
"Mhm ... undangan dari Baroness Bartzen ...," Mata Ivy cepat menangkap informasi. "Apa? Undangan minum teh?" Jarang sekali Ivy diundang mengikuti perjamuan minum teh walau dia telah debut di dunia pergaulan sosial. Mungkin karena statusnya sebagai anak angkat, para bangsawan merasa enggan untuk bersosialisasi dengannya.
"... Dilaksanakan dua hari lagi." Rasa kantuk Ivy hilang seketika. Ivy berlari ke lemari baju milik, mengecek apakah ada gaun yang bisa dikenakan olehnya di pesta nanti.
Semua gaun Ivy memang terlihat mewah, tetapi ketinggalan model terbaru. Mumpung hari ini Ivy keluar, sekalian dia akan mampir ke toko pakaian untuk membeli gaun siap pakai. Harga lebih terjangkau dan instan.
"Putri, air hangatnya sudah siap!" panggil Emer dari balik pintu sesudah mengetuk beberapa kali.
"Baikk! Aku akan segera ke sana."
***
Ivy sampai di alun-alun kota, tempat janji temu dia dengan Asher. Ternyata pria itu sudah menunggu di sana. Sesekali mengeluarkan jam saku dari balik jasnya.
"Asher!!!" Ivy melambaikan tangannya sambil menuruni kereta kuda.
Asher mengangguk, dia bergegas menghampiri Ivy. "Halo, Ivy. Kita akhirnya bertemu lagi." Asher membungkukkan badan dan mencium punggung Ivy sebagai salam.
"Kamu tahu, Asher. Aku baru saja mendapatkan undangan minum teh dari Baron Bartzen. Aku harap nanti akan terasa menyenangkan karena aku jarang menghadiri pesta teh putri bangsawan."
Asher tidak banyak bicara. Dia mendengarkan Ivy dari samping. "Nah! Pastinya kita akan ke tempat destinasi pertama dong! Ayo kunjungi toko pakaian!" Ivy merangkul tangan Asher.
Asher yang tidak menyangka bahwa Ivy akan merangkul lengannya dadakan pun tersipu malu. Baru lah otaknya baru bisa memproses hal yang tadi dikatakan Ivy.
"Ke toko pakaian?? Denganku?!!" Asher panik.
"Iya, memang tidak boleh??" Ivy memasang wajah polos.
"T-Tidak. Bukan begitu maksudku ...," Asher menutup wajahnya yang sudah memerah bagai tomat rebus.
"Ayo!! Bantu aku memilihkan pakaian." Ivy mengeluarkan trik andalannya dengan wajah memelas.
Asher menghela napas. Sepertinya Ivy sekali lagi berhasil membujuk seseorang. Asher pada akhirnya hanya diseret Ivy menuju toko pakaian.
Mereka tiba. Saat memasuki ruangan, para pelayan yang berkerja di toko memberikan salam. Ivy menelaah sekitar. Berbagai macam model gaun terbaru era victoria terpajang. Seorang pelayan menghampiri Asher dan Ivy.
"Apakah ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
Ivy spontan menjawab. "Aku ingin mencoba gaun siap jadi model terbaru. Apakah bisa?"
"Tentu saja bisa, mari saya tunjukkan." Pelayan itu mengarahkan Ivy untuk memilih gaun.
Seorang lagi mendatangi Asher. "Tuan, apakah ada yang bisa saya bantu juga?"
"Ah, aku hanya mendampingi gadis yang bersama dengan pelayan lain itu."
"Kalau begitu, Tuan bisa mengikuti saya ke ruang tunggu selagi tunangan Anda memilih pakaian."
Asher membeku. 'tunangan'. Pelayan itu baru saja mengatakan tunangan. Ternyata itu yang dipandang orang-orang kepada mereka. Asher memutuskan untuk tidak meluruskan kesalahpahaman antar pelayan dengan dirinya. Dia pun mengikuti si pelayan menuju ruang tunggu.
Asher sudah menunggu selama tiga puluh menit. Akan tetapi, belum terlihat batang hidung Ivy. Dimanakah dia?
Baru saja dikatakan seperti itu, seorang gadis mengenakan gaun berjumbai berwarna biru langit dipenuhi pita-pita berlari ke arah Asher.
"Asheerrr!!!" panggil gadis itu dengan gembira. Asher tidak bisa melepaskan pandangannya dari Ivy. Hanya Ivy yang berada dalam pengelihatannya.
"Bagaimana penampilanku?" Ivy berputar. Gaun berjumbai-jumbai itu mengembang bagai bunga mawar.
"Cantik. Kamu cantik sekali Ivy." Asher membelai rambut hazelnut milik Ivy dan menciumnya.
"Bagai peri dalam dunia fantasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Identity of Asher
Historical Fiction"Seharusnya, hari itu kamu mati ...!" Asher adalah seorang anak yang tinggal di panti tidak jauh dari Desa Lacock, Inggris. Pengadopsiannya mengharuskan Asher pergi. Hidup yang sulit membuat Asher pupus harapan hingga akhirnya roda kehidupan memper...