17

1.3K 146 28
                                    

Kedua bibir yang telah terpoles lipgloss itu mengecap tiga kali. Dirasa telah merata, Sakura kembali merapikan kepangan rambutnya. Kali ini, ia sisipkan aksesoris jepitan Cherry di sisi rambut. Semakin manis, percaya dirinya pun menguat diiringi dengan senyum lebar yang membuat sosok yang berdiri di ambang pintu, entah sejak kapan, berdehem pelan.

Sakura hanya melirik dan kembali berkutat dengan penampilannya, tak mempedulikan sang kakak yang menghampiri dengan sorot penasaran.

"Bukankah itu terlalu berlebihan?"

Suara berat sarat ketidaksukaan berhembus pelan. Sakura melotot saat Sasori telah mengambil ancang-ancang untuk menghapus pewarna bibir yang telah ia pakai dengan beberapa lembar tisu di tangan. Tidak boleh. Hasil karyanya hari ini, tidak boleh raib sia-sia. Hampir satu jam, ia memilah dan memilih gaya penampilan yang akan ia gunakan hari ini.

"Aku ada acara penting. Bisakah kau tidak merecokiku, nii-san?"

Sakura berkelit menjauh. Ia bergegas mengambil tas selempangnya untuk menghindari rentetan pertanyaan dari Sasori, terutama lembaran putih yang masih berada di genggaman tangannya. Itu sangat berbahaya.

"Ke mana?" tanyanya berat sembari mengekori Sakura yang turun ke lantai satu. Ia pandangi dress putih dengan corak bunga sakura itu intens. Sakura dan penampilannya sekarang terlalu berbahaya.

Siapa yang akan menculik adik manisnya itu? Penampilannya kali ini benar-benar mencurigakan. Apalagi wajahnya terhias make-up mencolok yang menambah aura kecantikannya.
Adiknya itu terlalu mencolok mata. Sasori akui itu.

"Kepo," teriak Sakura sembari menjulurkan lidah ke arah Sasori yang berada dua langkah di belakang.

Mendapati respon sang adik, Sasori semakin mempercepat laju jalannya. Ia tak akan membiarkan adik perempuannya itu berkencan dengan sembarang pria. Ingin mendapatkan adiknya, maka harus melewati tes dahulu dengan kakaknya.

"Laki-laki mana yang mengencanimu sekarang?" Lengan Sakura berhasil tercekal. Gadis itu menoleh dengan alis terangkat naik. Setelahnya, ia menghembuskan nafasnya pelan. Jika ia tak memuaskan pertanyaan kakaknya, pasti hal ini akan berbuntut panjang. Overprotektif kakaknya mulai kambuh.

Pandangan Sasori menajam saat melihat Sakura yang menatapnya gelisah. "Siapa pria itu, Sakura?" ulangnya mendesak sebuah jawaban pasti. Sakura tahu, ini tidak akan berakhir.

Sebelum Sasori meledak dan semakin menghambat waktunya, Sakura segera mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan cincin mengkilat berwarna hitam yang begitu kontras dengan kulit putihnya.

Melihat hal itu, bibir Sasori mengatup kuat, sedikit desisan kecil tercipta. Ada dua kesimpulan yang terbentuk di dalam otak cerdasnya. Namun, sebelum ia mengungkapkan, Sakura telah memotong rasa penasarannya terlebih dulu.

"Aku bertunangan saat kau sibuk dengan ujianmu." Sakura berkata lirih, penuh ketenangan.

"Brengsek!" Sasori mengumpat. Nada berang sarat kemarahan tertahan, ia lampiaskan pada tembok sisi ruang tamu. Respon itu cepat sekali hingga Sakura hanya mampu memekik lantas menggenggam tangan Sasori yang memerah akibat pukulan keras yang dilakukannya barusan. Kakaknya benar-benar gila.

"Kenapa moment penting seperti itu terlewatkan olehku?"

Nada kecewa itu terdengar getir. Sakura mendesah, sangat kecil. Tentang pertunangannya, ia memang belum berbicara sama sekali dengan Sasori. Ada beberapa alasan ia tak terlalu membuka pertunangannya dengan Sasuke. Hanya ayahnya saja yang tahu.

"Siapa pria itu? Bukankah sudah ku bilang untuk menemuiku terlebih dahulu sebelum ayah? Kenapa kau keras kepala sekali, Saki?"

Satu sentilan di kening diterima Sakura, ia meringis pelan. Jujur saja, rasanya itu sedikit menyakitkan. Sasori jarang sekali menyentil pelipisnya, jika itu terjadi berarti kesalahan yang ia buat tak terlampau keterlaluan. "Jika ku katakan, kau pasti tak akan setuju."

Back to the MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang