14.

932 120 4
                                    

•••
Tak perlu obat untuk bisa pulih kembali, mendengar omelan seluruh keluarga saja sudah lebih dari obat untuk Khao. Sekarang saja, kedua kakaknya sudah setia berada di kamarnya. Ingin sekali rasanya Khao menghilang, kedua kakaknya terus mengomel sedari tadi.

"Bisakah kalian berhenti?" Kata Khao melihat kedua kakaknya bergantian. "Telinga ku panas mendengar ocehan kalian!"

Gawin menatapnya tajam, bagaimana bisa mereka diam. "Kenapa kau sangat keras kepala?"

"Jika kepalaku lembek berarti aku saudara alien, apa ada alien setampan aku?" Jawab Khao.

"Sakit!" Khao merintih kesakitan saat Bright mencubit pipinya sampai meninggalkan bekas kemerahan.

"Bright!" Gawin mendekat pada Khao dan memeriksa wajah adiknya itu. "Kau ini! Lihatlah pipi gembulnya," dengan perlahan Gawin mengusap pipi Khao berharap rasa sakitnya hilang.

"Dia sangat menyebalkan," Bright membela dirinya sendiri. Sebenarnya itu cubitan gemas yang Bright berikan.

Gawin menatap wajah Bright. "Sepertimu! Kau lebih menyebalkan darinya!"

"Aku? Mengapa aku?"

"Sifat keras kepalanya menurun darimu!"

"Hey!"

"Apa aku salah?"

Khao menghela napasnya panjang. Setelah Omelan sekarang dia harus mendengar adu mulut kedua kakaknya, seperti anak kecil yang sedang merebutkan permen saja.

"Cukup kalian!"

Bright dan Gawin menghentikan adu mulutnya, tatapan mereka beralih pada Khao yang baru saja membuka suara.

"Kalian berisik sekali," protes Khao.

Sedangkan kedua kakaknya hanya memandang satu sama lain. Ini pasti gara gara mereka sering mengejek Khao anak kecil, itu sebabnya sekarang merekalah yang seperti anak kecil.

Khao tak tahan dengan semua ini. Dia menghela napasnya kasar. "Aku ingin tidur ini sudah larut, simpan ocehan kalian untuk besok."

"Mengapa kita berdebat hanya karena masalah sepele?" Tanya Bright.

Gawin menjawab, "kau benar."

"Bisakah kalian keluar dari kamarku? Kepalaku mulai sakit," Khao tersenyum sangat manis. "Aku mohon."

Benar. Jika keduanya terus berada di kamar Khao itu akan sangat mengganggunya. "Baiklah aku minta maaf," kata Bright.

Gawin mengangguk menyetujui perkataan saudaranya. "Tolong beritahu kami jika kau butuh apapun."

Tidak ingin memperpanjang pembicaraan, Khao hanya mengangguk mengiyakan perkataan kakaknya.

"Baiklah selamat malam." Sebelum keduanya pergi, mereka sempat mengacak-acak rambut Khao. Dan itu di sambut tatapan tajam dari adiknya.

Khao bernapas lega saat kedua kakaknya telah meninggalkan kamarnya. Sangat hening. Setidaknya itu lebih baik dari sebelumnya.

Ia mulai membaringkan tubuhnya. Setelah pulang dari kafe First tadi tubuhnya sudah sedikit membaik. Ia memejamkan matanya, tak butuh waktu lama, bayangan wajah First yang sedang menatap dirinya tadi tiba-tiba muncul begitu saja. Dengan segera Khao membuka matanya kembali.

Masih terlihat jelas sorot mata First saat menatap dirinya. Jika di lihat dari dekat seperti tadi, wajah First dua kali lebih tampan dibanding saat ia melihatnya dari kejauhan.

Khao tersenyum kemudian dalam hitungan detik wajahnya datar kembali. "Ada apa denganmu Khao! Kau bahkan menyukai setiap orang yang kau lihat."

Ia mencoba menghilangkan wajah First dari benaknya. Tidak mungkin Khao menyukainya, lagi pula dia sangat mendukung hubungan Kakaknya dengan pemilik kafe itu. Khao mencoba memejamkan matanya kembali. Jika wajah First masih saja muncul bukan masalah yang terlalu besar. Jika di pikir-pikir memang wajahnya memikat, sangat rugi jika kakaknya tak memiliki First. Atau mungkin Khao sendiri yang akan rugi?.

•••

"Kay," Perth membaca tanda pengenal yang tergeletak begitu saja di meja. "Mengapa kau tak menggunakan namamu sendiri?" Tanyanya.

First menoleh sembari menyalakan televisi. "Apa salahnya menggunakan nama samaran?" First kembali bertanya.

Kemudian Perth duduk dan bergabung menonton televisi bersama kakaknya. "Bukankah kau akan berhenti dari pekerjaan mu yang ini?"

Helaan napas terdengar dari First. "Apa cukup hanya dengan membuka kafe saja? Belum lagi untuk membayar para karyawan, membeli bahan bahan dan kebutuhan lainnya."

"Apa ayah atau ibu belum memberi uang?"

First memandang Perth sejenak. Saat ini mereka hanya tinggal berdua dan menjalankan bisnis itu pun hanya mereka berdua. First merasa menyesal untuk tindakannya saat ini, ia menyeret Perth masuk kedalam masalahnya.

"Maafkan aku Perth," terdengar jelas penyesalan dalam perkataan First.

"Untuk apa?"

"Membawamu bersamaku, mungkin jika kau tinggal bersama Ibu dan ayah ini tidak akan terjadi."

Perth tersenyum memandang First. "Aku lebih senang tinggal bersamamu. Maaf."

Hubungan antara First dan keluarganya sangat baik. Tapi saat hari kelulusan, First memilih untuk berbisnis mengikuti jejak ayahnya daripada melanjutkan pendidikannya. First pikir tidak salah jika ia mencari uang dan belajar mandiri. Tapi tidak dengan Ibunya, saat mendengar itu keluar dari mulut First Ibunya merasa kecewa karena ia tak mementingkan pendidikan. Sejak saat itu First di biarkan mengikuti jalannya sendiri, ibu dan ayahnya tidak akan bertanggungjawab untuk itu. Saat itu First masih tinggal bersama Rey, itu sebabnya First berani membantah kedua orangtuanya. Sampai tiba tiba Perth pun mengikuti jejak sang kakak, itu berhasil membuat ibunya marah besar. Anak anaknya tidak mementingkan pendidikan.

Sejak saat itu Perth menjadi tanggungjawab First. Kedua orangtuanya tetap bertanggungjawab memberi First uang bulanan hanya saja tidak memperhatikan perkembangan mereka berdua. Cukup kejam, tapi ibunya melakukan itu hanya untuk membuat kedua anaknya mengerti apa yang dikatakan ibunya tidak salah.

Kafe ini memang milik ayahnya, tapi sekarang sudah sepenuhnya milik First dan itu tidak bisa di ganggu gugat.

•••

Waktu menunjukkan pukul 01.03 dini hari. Entah mengapa First sulit sekali untuk memejamkan matanya. Kini kedua telinganya sudah terpasang earphone. Sembari menikmati musik yang di dengarnya, First kembali membayangkan bagaimana lucunya wajah Khao ketika sedang berbicara dengannya. "Apakah ini kau Rey?" Monolognya.

First tak ingin menganggap jika Khao adalah Rey. Tapi lama kelamaan First merasakan kehadiran Rey saat bersama Khao. Jika dugaannya salah, tak mungkin dirinya akan jatuh cinta secepat ini.

"Aku tak percaya jika ini reinkarnasi, jika iya pasti sekarang Rey masih berusia dua tahun." Tiba tiba First terkekeh membayangkan Rey saat ini berusia dua tahun. Itu sangat menggemaskan.

"Apa mungkin saat aku berbicara dengan Khao kau ada bersama kami? Sangat tidak mungkin aku merasakan kau ada dalam diri Khao."

First memejamkan matanya, telinganya masih mendengarkan lagu yang diputarnya.

"Maaf aku melupakan janjiku, aku melanggar janji itu dua kali."

'aku berjanji sampai kapanpun hanya kau yang ada di hatiku'

'apa kau yakin? Bahkan setelah aku tiada?'

'hanya kau'

Dua kali First melanggar janjinya. Pertama First membuka hatinya untuk Gawin, kedua First mulai membuka hatinya untuk Khao.

"Aku yakin kau kecewa padaku Rey."

First tiba tiba tersenyum. "Apa aku ini berbicara sendiri seperti orang gila."

"Satukan aku dengan Khao jika kau tak kecewa kepadaku dan memberi kesempatan untuk orang lain menggantikan posisimu di hatiku," kalimat terakhir yang First ucapkan sebelum ia berhasil tertidur.

•••

To be continued.

MILKSHAKE |FKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang