06||Minta maaf

1.2K 153 19
                                    

Maaf banget tadi belum selesai udah kepublish duluan, bagi yang udah baca silakan baca ulang aja, ya. Nambah dikit doang, kok :)

***

Jimin memang tidak menyukai Taehyung. Namun, jelas, rasa sayangnya pada sang mama jauh lebih besar jika dibandingkan dengan ketidaksukaannya pada anak itu. Usai mendengar cerita dari papanya, barangkali Jimin akan merasa menjadi anak durhaka apabila tetap menyuruh Taehyung pergi demi kebahagiaannya sendiri.

Suka tidak suka, terima tidak terima, Jimin tetap tidak bisa mengabaikan fakta jika selain dirinya-Taehyung sekarang juga menjadi bagian dari kebahagiaan sang mama. Memisahkan Taehyung dengan mama sama saja dengan ia membuat mamanya menderita. Dan tentu saja, Jimin tidak bisa melakukannya.

Mengesampingkan keinginannya sendiri, Jimin memutuskan untuk memilih opsi pertama; meminta maaf pada Taehyung, dan mencoba menerima anak itu sebagai adiknya.

Entah bagaimana semua akan berjalan sementara hati kecilnya terus menolak demikian. Tetapi setidaknya, Jimin sudah berusaha sebaik mungkin untuk berbakti pada orang tuanya. Perihal ia yang bisa menerima Taehyung atau tidak, mari kita serahkan pada sang penulis saja.

"Masuk saja, sayang. Adeknya udah bangun, kok," ujar Sena. Wanita itu terkekeh pelan melihat sulungnya yang sedaritadi hanya diam berdiri di depan pintu kamar Taehyung.

"Tau, kok," jawab Jimin seadanya

Sena mengerutkan dahi mendengar jawaban dari sang putra. "Terus? Jimin lagu nungguin apa lagi?"

Tak ada jawaban dari Jimin untuk pertanyaan sang mama kali ini. Tentu saja, hal tersebut semakin membuat wanita yang masih nampak cantik di usianya yang sudah menginjak empat puluhan itu mengerutkan dahi.

"Ih, Mama ini gak peka amat, sih. Anaknya itu malu, masa mau minta maaf diliatin sama Mamanya."

Gemas dengan polah istri dan anaknya, Ji Sung yang sedaritadi hanya menyimak akhirnya ikut bersuara. Pria itu beralih melirik sang putra sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Udah, masuk, sana. Mama biar Papa yang urus."

Jimin hanya menyatukan jari telunjuk beserta ibu jarinya—membentuk tanda oke-menanggapi ucapan sang papa. Sementara itu, Sena refleks memekik saat tangan sang suami-yang entah sejak kapan sudah melilit di pinggangnya—menariknya untuk semakin merapat sebelum tanpa aba-aba menggendongnya dan membawanya pergi dari sana.

***
Benar apa kara Ji Sung, tampaknya Jimin memang malu—atau lebih tepatnya gengsi—harus meminta maaf pada Taehyung di depan mamanya sendiri. Sebab tepat setelah sang papa membawa kabur mamanya, Jimin langsung masuk ke dalam kamar Taehyung yang memang tidak terkunci. Itu pun tanpa mengetuk pintu lebih dulu.

Jika dalam bayangan Jimin Taehyung akan menyambutnya dengan wajah nelangsa, atau mungkin ketakutan lantaran apa yang telah ia lakukan semalam, maka yang terjadi justru malah sebaliknya. Kim Taehyung, bocah tujuh tahun itu melompat dari kasurnya seraya menyerukan namanya Kak Jimin!! Dengan begitu lantang. Seolah, Taehyung memang tengah menunggu kedatangan Jimin sebelumnya.

"Kau ... baik-baik saja?"

Pertanyaan tersebut yang pertama keluar saat Jimin melihat Taehyung tampak segar bugar. Dalam hati menyesal, lantaran semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak memikirkan Taehyung yang terlihat sangat lemah usai ia mengurungnya di gudang.

"Kak Jimin benar mau mengantar Adek sekolah, ya?!" Mengabaikan pertanyaan dari Jimin, Taehyung justru balik bertanya dengan begitu girang.

Hal tersebut tentu saja berbanding terbalik dengan Jimin yang tampak gelagapan. Dan tunggu sebentar,

Taehyung bilang apa tadi?

Apa anak itu baru saja menyebut dirinya sendiri Adek?

Hey, sejak kapan Jimin mengakui Taehyung sebagai adiknya?!

"Tidak," jawab Jimin. Seketika membuat Taehyung melunturkan senyumnya.

"Tidak dengan kau yang acak-acakan seperti ini," lanjutnya, lagi. Menatap Taehyung dari kepala sampai kaki.

Jimin berdecak. Dengan sekali hentakan, ia sudah berhasil mengangkat tubuh Taehyung dan membuatnya berdiri di atas ranjang. "Siapa yang ke sekolah dengan baju berantakan begini?"

Memang benar, penampilan Taehyung amat sangat berantakan. Kancing yang terpasang asal, baju yang bahkan tidak dimasukkan ke dalam celana seragam, jangan lupakan, rambutnya yang masih basah bahkan belum disisir dengan benar. Ah, anak ini lebih terlihat seperti pengamen jalanan daripada anak sekolahan.

Taehyung sendiri hanya terkekeh. Membiarkan kakaknya membenahi penampilannya sementara ia hanya menurut, diam di tempatnya sembari memainkan rambut sang kakak.

"Uuhh, ngomong-ngomong, aku .... aku minta maaf ya soal kejadian semalam." Jimin berujar dengan tangannya yang sibuk membenarkan kancing baju Taehyung. "Lagian salah sendiri, sih! Aku mana tau kalau kau anaknya bengekkan!" Meskipun benar-benar merasa menyesal, tetap saja Jimin mencari celah untuk menyalahkan Taehyung.

"Taehyung ...."

"Ya, Kak Jimin?"

Jimin mengulum bibirnya. Tangannya yang kini tengah menyisir rambut anak itu terhenti seiring dengan manik matanya yang beralih menatap wajah lugu sang adik. "Jangan pergi, ya? Di sini saja. Aku mungkin tidak bisa menjadi Kakak yang baik, tapi aku bisa kok jadi teman ributmu kapanpun kau mau."

Demi Tuhan, Jimin jadi kikuk sendiri setelah mengatakannya. Jika tidak ingat ucapan sang mama yang mengatakan  Taehyung merengek pulang, meminta dikembalikan ke panti karena Jimin yang tidak bisa menerimanya di sini, mana mungkin Jimin mau mengatakan hal demikian.

"Adek juga minta maaf, ya, udah rusakin mainan Kak Jimin. Tapi Kak Jimin jangan sedih, Adek udah benerin mainan Kak Jimin, kok!"

Alis Jimin langsung terangkat mendengar ucapan Taehyung. Dalam hati bertanya; bagaimana anak itu bisa memperbaikinya? Seingat Jimin, kepala kapten amerika miliknya sudah terputus dari tempatnya. Apa yang bisa anak itu lakukan untuk mengembalikan potongan kepala tersebut seperti semula?

"Benarkah?" tanya Jimin, ragu. Ia sungguh tidak yakin dengan ucapan anak itu.

"Iya, Kak Jimin! Tunggu sebentar, biar Adek ambilkan, ya!" jawab Taehyung.

Sesekon kemudian, anak itu sudah berlalu dari hadapannya, menuruni ranjang untuk kemudian mengambil sesuatu dari laci di meja sebelah ranjangnya. Dan coba tebak, apa yang terjadi selanjutnya? Jimin yang sebelumnya sudah cukup berharap, berpikir mungkin ada keajaiban dan ia bisa mendapatkan kembali hadiah pemberian dari sang papa, hanya bisa menghela napasnya sembari menahan kesal melihat action figur miliknya sudah penuh dengan balutan lakban di bagian lehernya.

"Ini, Kak! Adek pinter, kan, bisa benerin lagi mainan Kak Jimin?!"

Pinter apanya? Kepala dan tubuhnya memang sudah tersambung. Namun, alih-alih pahlawan, kapten amerikanya lebih terlihat seperti mumi sekarang.

***
Sementara itu, Sena—yang sudah lepas dari cengkraman sang suami—dan kembali berdiri di depan pintu kamar Taehyung, tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah laku anak-anaknya.

"Adem, ya, Pa? Liatnya?"

Ji Sung sendiri hanya mengangguk. Ikut tersenyum melihat Jimin yang kini tengah memakaikan sepatu pada Taehyung. Persis seperti dugaannya, Jimin pasti akan luluh juga pada akhirnya. Untuk sekarang mungkin ia masih setengah hati. Akan tetapi, lambat laun, Ji Sung yakin jika Jimin, putranya, akan sepenuhnya bisa menerima Taehyung sebagai adiknya.




_________

Sebelumnya aku cuma mau bilang; berbeda dari storyku kebanyakan, mungkin book ini bakal jauh dari genre angst. Ada, tapi paling cuma buat bumbu aja.

So, jangan terlalu berharap bagi kalian pecinta angst, ya :)

________________

New Brother (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang