Tokyo, pukul 8 malam.
Bohlam pada tiang lampu yang menerangi jalan berkedip-kedip. Suasana dan pelataran yang cocok untuk film horor. Siapa pun pasti akan merasa takut melewati jalan itu, apalagi dengan kehadiran sosok misterius yang bersandar di dekat tiang seperti seorang pembunuh menunggu korbannya.
Tapi, suasana mencekam tidak berlaku pada seorang gadis berseragam sma yang melangkah mendekati sosok di bawah lampu.
Gadis tersebut adalah aku.
"Akhirnya kau datang. Aku sudah lumutan menunggumu di sini," kata lawan bicara dengan intonasi suara berat dan dingin.
"Maaf, tidak kusangka kegiatan klubku memakan waktu banyak untuk bubar." Aku membalas sama dinginnya.
Sosok itu mengambil sesuatu dari ranselnya. Sebuah kotak pandora dengan pita di tengah-tengahnya. "Ini pesananmu." Sebelum aku meraihnya, sosok itu menatapku tajam. "Dengar, kau harus berhati-hati saat mengeluarkannya. Jangan sampai terlipat, jangan sampai tercoret, jangan sampai kotor. Kau tahu kalau ini sangat berharga, kan?"
Aku tidak takut dengan intimidasinya. "Kau pikir hanya kau satu-satunya seorang fans fanatik di sini?" seringaiku, mengambil kotak berpita dari tangannya. "Gila namanya jika aku sampai merusak harta karunku."
Dia tersenyum mantap. "Bagus. Aku suka dengan kesungguhan hatimu." Kemudian dia mengulurkan tangan, tersenyum bisnis. "Sudah sewajarnya sesama penggemar kita saling berbagi. Terima kasih atas foto indah yang kau kirimkan padaku tempo lalu."
Aku menyeringai, menyambut jabatannya. "Tentu saja. Aku akan melakukan segalanya termasuk memindahkan gunung."
*
Akhirnya aku mendapatkannya.
Aku mengangkat tinggi-tinggi kotak yang diberikan sosok aneh tadi, membungkuk. "Photocard Han Maehwa first album!"
Wajahku yang super serius, berbunga-bunga dalam hitungan detik. Aku memeluk kotak itu. Sudah lama aku menginginkannya. Aku membeli lima kopi album, namun tidak pernah beruntung mendapatkan photocard biasku. Mama memarahiku menghabiskan ratusan uang untuk membeli album-album tersebut.
Bukannya aku tidak suka member lain, tapi anggota favoritku adalah Maehwa. Jadi wajar dong aku mengincar photocardnya. Buktinya aku memasang poster mereka di dinding kamarku. Tidak lupa merchandise mereka berjajar di rak dan meja belajarku.
Setiba di rumah, aku harus menyembunyikan berhalaku ini di tempat teraman. Jangan sampai Mama atau Papa melihatnya karena uang jajanku bisa dipotong dan aku jadi tidak bisa menabung membeli tiket konser.
"Sepertinya ini hari keberuntunganku."
Aku berhenti menyembah kotak itu laksana totem, menoleh ke depan demi mendengar dialog tipikal seorang preman. Apes. Ada dua pria dewasa sedang mabuk-mabukan.
"Seorang gadis manis berseragam sekolah datang tanpa diundang." Aku spontan menutup hidung demi mencium bau alkohol. "Siapa namamu, hei cantik?"
Aku melangkah mundur. Otakku menyuruhku segera lari dari sini, tapi masalahnya, tanpa sepengetahuanku temannya sudah berada di belakang. Memblokir rute keluar.
Yang benar saja. Sejak kapan dia ada di situ? Apa saat aku melamun menilai situasi? Susah sekali memiliki otak dan bibir yang cerewet.
Pokoknya selamatkan dulu photocard yang susah payah kudapatkan dari negosiasi. Keselamatanku bisa dipikirkan nanti-nanti. Benda ini jauh lebih penting.
Yang di belakang mulai bertingkah agresif, menyentuh rambutku lantas menghirupnya. "Aromamu wangi, Manis," katanya membuat seluruh bulu romaku berdiri ngeri. Hiy! Situ ngapain sentuh-sentuh?!
"Biarkan aku pergi," kataku masam.
"Hee, tidak bisa begitu dong. Kita bahkan belum memulai apa pun. Ada hostel yang dekat dari sini. Bagaimana kalau kau ikut? Kami akan membayarmu kok."
Brengsek. Mereka pikir aku pelacur?
Tanpa pikir panjang, aku menginjak kaki pria di belakangku kemudian melempar tasku ke pria di depanku. Mereka tersentak kaget, menciptakan dua detik berharga.
Aku pergi dari sana usai memungut tas.
*
Terlalu cepat berpikir aku sudah lolos. Lima menit melarikan diri, dua preman itu berhasil menyusulku. Mereka cepat sekali. Aku belum sampai ke titik yang ramai oleh pejalan kaki.
"Jangan merepotkan kami dong, Cutie. Kami akan bermain lembut. Tak perlu risau."
Aku tidak bisa membendung perasaan takutku lagi. Tadi aku masih percaya diri karena aku memiliki peluang untuk kabur. Lihatlah, mereka hampir dekat denganku.
Sehelai daun maple terbang ditiup angin. Aku mendongak. Daun itu seakan menyuruhku supaya mengikutinya.
Yosha! Ini pasti bantuan dari Tuhan!
Setelah berbelok di seliweran gang demi gang sempit, suara dua preman itu tidak terdengar lagi olehku. Angin mengembus daun maple lebih tinggi hingga aku kesulitan menyusulnya. "Hei! Tunggu aku, Daun Ajaib!"
Aku menyapu pandangan. Sekitar sepi. Preman-preman itu juga tak terlihat. Tidak ada cctv. Aku tidak perlu takut ketahuan.
Tanpa babibu kubuka sayapku kemudian melenting ke atas, kembali mengekori daun maple. Samar-samar aku mendengar suara dua preman tadi yang mengaum lantang, marah kehilangan mangsa. Keduanya beringas menendang kerikil, mengumpat.
*
Aku mendarat di tempat yang lumayan jauh, mengatur napas. Nyaris saja aku dilecehkan. Untung aku mengikuti Daun Ajaib. Aku bisa mengeluarkan sayapku tanpa ragu. Cih, seharusnya aku membuat pertemuan di siang hari dan di tempat terbuka. Tapi kakak tadi seorang introvert dan benci kerumunan. Aku tak punya pilihan mengikuti syaratnya jika ingin mendapatkan photocard Maehwa.
"Terima kasih, Daun Ajaib!" Aku berseru melambaikan tangan pada daun maple yang terbang menjauh diembus angin.
Eh, tunggu dulu. Ada yang ganjil di sini. Mana mungkin angin secara kebetulan meniup daun maple ke gang ini-itu menuntunku menemukan jalan keluar. Jangan-jangan...
Aku berbinar-binar menatap benang pink di jari kelingkingku yang menyala redup. Senyumku terukir. "Kau melindungiku lagi. Angin barusan pasti ulahmu, kan?"
Brukk!! Terdengar suara barang jatuh. Aku menoleh ke sumber suara, melotot.
"M-malaikat... Seorang malaikat..."
Ini kesalahan paling fatal selama setahun aku menyaru menjadi gadis SMA normal. Aku terlalu fokus sama benang pink-ku yang jarang-jarang tervisualisasikan dan tidak sadar sayapku masih terekspos.
Seorang laki-laki sebaya denganku yang kelihatannya juga baru pulang dari sekolah, memandangi diriku dengan tatapan terkejut. Tas sekolahnya jatuh karena kaget. Aku kenal wajahnya. Aku kenal siapa dia.
Yishitori Sakuni. Teman sekelasku.
Dari sekian banyak orang, kenapa harus si pembuat onar alias biang kerok ini?!
Itu adalah kejadian satu bulan lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY Academy
Fantasy[Fantasy & (minor) Romance] SEQUEL of Hush, Fairy Verdandi! Semenjak aku pulang ke tempat asalku, Bumi, satu tahun berlalu begitu saja. Aku menjalani hidup sebagaimana gadis normal pada umumnya sambil terus merahasiakan adanya dunia paralel. Selai...