"Verdandi."
Ah, suara lembut ini. Aku juga merindukannya... Tunggu! Jangan salah paham. Maksudku arti kosakata rindu di sini adalah dalam konteks murid ke guru. Di surat undangan tertulis Tuan Alkaran menjadi kepala sekolah di FLY Academy. Terlebih aku sudah lama tidak berjumpa dengan beliau. Wajah tampan bersih Tuan Alkaran membuatku pangling sejenak.
Entah aku yang tidak mau tinggi atau Tuan Alkaran yang ketinggian, aku hanya sependek dadanya saja. Padahal aku yakin dengan tinggi badanku mengingat pola makanku proposional, rajin olahraga dan rajin minum susu. Jadi ini bukti nyata kerja keras bisa mengkhianati hasil.
"Bagaimana kabarmu?" Beliau tersenyum.
"Seperti yang ada lihat, Tuan Aran." Aku menyengir, memamerkan kondisiku yang bugar. "Sehat walafiat."
"Selain menyandang julukan 'peri paling kepo', kau juga mengembat julukan 'peri paling keras kepala'. Apa kau tahu itu, Verdandi?" ucapnya bersedekap. "Sejauh ini, kau lah yang paling kepala batu."
"E-eh?" Aku mengerjap polos, tidak mengerti ke mana arah pembicaraan. Lagi pula, ya ampun, aku dijuluki peri terkepo?Itu pujian atau ledekan sih.
"Kau satu-satunya peri yang mengabaikan undangan kepala sekolah," lanjut Tuan Alkaran ke inti percakapan, membuatku menegang. Tertohok.
A-ah, ternyata tentang itu... Harusnya aku berpikir cepat. Mustahil Tuan Alkaran tak mengusut soal kepergianku selama setahun sepuluh bulan. Bertualang macam apa yang memakan waktu selama itu dan tak ada tanda-tanda akan kembali.
"Surat undangan ke FLY Academy aku kirim dari setahun lalu dengan bantuan Komu, pengguna kemampuan telepati. Dan kau baru datang hari ini? Apa yang kau pikirkan? Kau satu-satunya peri Fairyda yang tidak mendaftar ke FLY Academy. Bahkan mantan musuh kita berantusias, tidak sabaran untuk mendaftar."
Aku menelan ludah, terus menunduk sedalam mungkin. Itu berarti surat undangan FA sudah tergeletak di kamar lamaku selama berbulan-bulan. Astaga! Aku ini benar-benar yang terburuk.
Yah, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa apa-apa. Aku kan di Bumi. Mana aku tahu menahu perkembangan Fairyda.
"Apa kau sesibuk itu bertualang sampai lupa dengan sahabatmu? Klanmu? Apa kau sudah melihat peradaban baru Fairyda? Kota Pixitis? Teman-temanmu menduga kau takkan kembali lagi ke Fairyda dan banyak yang mengklaim bahwa itu adalah benar. Dua tahun hampir berjalan, Verdandi."
Jadi yang barusan itu bukan bagian dari Fairyda, melainkan kota Pixitis...
"Maafkan aku, Tuan Alkaran... Aku punya alasan sendiri," lirihku, mengusap bagian belakang leher. Aku juga frustasi mencari cara membuka 'pintu' ke Asfalis.
Mataku berkaca-kaca hangat. Aku tidak memikirkan perasaan teman-temanku di dunia ini. Mereka menungguku, lalu aku malah seenaknya sok sibuk untuk move on dari mereka. Malah enak-enakan dengan sekolah, orangtua, kehidupan kpopers, tanpa tahu banyak yang menantikanku.
Aku egois. Aku tidak layak untuk kembali.
Tuan Alkaran menyentuh pundakku. Seketika perasaanku yang nelangsa, hilang entah ke mana. Aku menatap wajah beliau yang tersenyum. Apa beliau sedang menggunakan kekuatannya padaku?
"Aku tidak memarahimu, Dandi. Aku hanya menyayangkan sikapmu pada Fairyda. Tapi aku juga tidak berhak menginterogasi periku. Jangan minta maaf padaku, tetapi pada teman-temanmu. Mereka semua menunggumu di FLY Academy."
Aku tersenyum getir, menyeka wajah. "Terima kasih, Tuan Alkaran... Maaf aku pergi terlalu lama."
"Lalu, izinkan aku bertanya, siapa gadis muda di belakangmu?" Baru lah Tuan Alkaran menotis sosok Oceana yang menyimak obrolan kami sedari tadi. Aku lupa memperkenalkannya karena terlalu larut dalam kesedihan.
"Namaku Oceana-Na, dari Klan Penyihir. Maaf jika aku merusak reuni kalian."
Tuan Alkaran tersenyum ramah. "Tidak ada yang mengganggu siapa pun di sini, Nak. Tidak seorangpun. Coba kutebak, apa kau melarikan diri dari bangsamu?"
Oceana mengangguk canggung.
"Wahai, jangan malu-malu begitu. Pintu Fairyda terbuka untuk ras mana pun. Entah dari Klan Druid, Klan Penyihir, atau klan lainnya di dunia ini. Lagi pula kedatanganmu akan sangat membantu."
Aku tidak terlalu menotis akhir kalimat Tuan Alkaran yang sarat akan makna karena sedang menyikut lengan Oceana, menyeringai. "Aku bilang juga apa. Fairyda tidak seketat akademimu."
Oceana tersenyum. "Terima kasih, Dandi."
Tuan Alkaran mengeluarkan papan satu set dengan bolpoin berwarna putih. Kedua benda itu terbang dengan sayap kupu-kupu dan lingkaran nimbus di atasnya. Oceana berseru gemas. Lucunya!
Benda itu melayang lima milimeter dari wajah kami. "Tulis nama kalian di sana supaya aku bisa memasukkan data diri kalian ke FLY Academy."
Aku mengintip papan catatan itu. Ada banyak nama kenalanku tertera di sana.
"Tapi, bukankah dulu aku sudah—"
"Pohon Neraida memang sudah merangkap informasimu, Verdandi, tapi butuh pendaftaran ulang untuk akses ke FA karena kami tidak bisa memindahkan data di Pohon Neraida ke sana."
Huh? 'Sana'? Di sana di mana maksudnya?
Tunggu sebentar. Aku baru sadar sesuatu. Aku mendongak, menyapu pandangan ke langit. Tidak ada bangunan apa pun di sana kecuali Sabaism yang jauh di ujung cakrawala sedang patroli.
"Maaf aku menginterupsi, Tuan Alkaran," kataku sesudah menulis nama. Papan itu terbang pindah ke arah Oceana. "Tapi, di manakah lokasi FLY Academy?"
Tuan Alkaran tertawa renyah, seolah memang menantikan kebingunganku. "FA tidak berada di sini, Dandi. Sekolah lama kita tidak dioperasikan lagi. Tidak ada peri-peri Fairyda dan Pixitis yang melanjutkan studi di tempat ini lagi," kata beliau menoleh ke bangunan itu, tersenyum simpul. "Tapi Amaras menolak menghancurkan sekolah. Tidak tega."
Betulan jadi sekolah terbengkalai ya...
"Bagaimana kabar Nona Amaras?"
"Baik, Dandi. Sangat baik semenjak peluncuran FA lancar jaya. Ketika aku kembali ke permukaan seperti sekarang, dia yang memerintah FA. Wakil kepala sekolah. Amaras lebih cocok menjadi kepsek dibandingkan aku, namun dia memaksaku. Aku tak punya pilihan selain menyetujuinya," katanya sambil terkekeh.
"Senang mendengarnya. Tapi, eh, apa maksudnya permukaan?"
Bertambah lagi tanda tanya di mukaku. Kalau si biang kerok Kuni di sini, dia pasti menertawakan kelemotan otakku, memasang gaya dosen. Direksi kuliahan. Menatapku seperti anak TK yang belum bisa berhitung satu tambah satu. Sialnya, baru membayangkannya saja sudah membuatku sebal. Lupakan, lupakan!
"FLY Academy terletak di dimensi lain, Dandi. Tidak di sini. Tidak di Fairyda, juga tidak di Pixitis kota baru naungan Fairyda, tidak juga di Asfalis. Terputus dari dunia luar," jelas Tuan Alkaran.
Heh? Aku yakin wajahku sangat tertarik dengan penjelasan pendek beliau. "Dimensi lain?" Banyak informasi yang kudapatkan dari dua menit lalu.
Tuan Alkaran mengangguk, menatap ke arah Pohon Neraida yang terlihat damai. "Pintunya ada di sana," katanya menunjuk santai pohon tersebut. "Hanya para petinggi Fairyda yang bisa membuka dan mengunci jalan masuk ke FA. Murid-murid FA yang ingin kembali ke klan permukaan, tempat kita berdiri sekarang, harus mendapatkan Surat Izin Keluar (SIK) dari kepsek FA atau dari Amaras."
Ini makin atraktif saja. "Kenapa begitu?"
"Untuk mencegah hal-hal buruk yang merugikan FA. Kau tahu kan Dandi, semua yang berbau dengan malaikat masih dianggap tabu oleh warga Asfalis. Amaras tidak bisa mempublikasikan FA secara terang-terangan. Orang-orang bisa menganggap FA benda berbahaya."
Aku dan Oceana menyimak.
Satu tahun sepuluh bulan aku tidak ke sini. Tentu saja aku banyak ketinggalan berita. Aku harus mendengarkan cerita Tuan Alkaran agar tidak miss informasi sesampainya di FLY Academy nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY Academy
Fantasy[Fantasy & (minor) Romance] SEQUEL of Hush, Fairy Verdandi! Semenjak aku pulang ke tempat asalku, Bumi, satu tahun berlalu begitu saja. Aku menjalani hidup sebagaimana gadis normal pada umumnya sambil terus merahasiakan adanya dunia paralel. Selai...