12* Revenite

292 58 9
                                    

Oceana memintaku supaya merahasiakan jati dirinya yang seorang Spirit Air. Dia menyamarkan identitasnya menjadi penyihir spesialis air dan sedang dalam perjalanan kabur dari akademi.

Meski dia Spirit Air, Oceana mengaku payah dalam mengendalikan air dan lebih mengandalkan sihir. Kurasa dia butuh guru bimbel deh. Aquara misalnya.

Aku ingin bertanya alasan dia kabur dari statusnya yang seorang akademia, namun harus kuurung. Apa pun itu, sepertinya bukan berita baik mengingat Oceana terburu-buru terbang hingga menabrakku—yah, walaupun aku juga salah sih.

"Kau mau ke mana sekarang?" Dan inilah pertanyaan yang keluar dari mulutku.

"Aku tidak tahu. Yang penting jauh dari wilayah Klan Penyihir. A-aku harus segera pergi sebelum mereka menyusulku. Selamat tinggal, Verdandi."

Entahlah siapa yang dia maksud 'mereka'. Tapi yang kutangkap, Oceana tengah dikejar oleh seseorang atau rombongan. Aku bergegas menahan lengannya. "Kalau kau tidak punya tujuan, bagaimana kalau kau ikut aku ke Klan Peri?"

Apa? Oceana menggelengkan kepala. "Itu tidak mungkin. Reputasi bangsa penyihir sangatlah buruk di Asfalis. Kami tidak berhak menyelusup ke negara damai seperti Klan Peri. Terima kasih atas kepedulianmu, tapi aku bisa jaga diri."

Aku terkekeh, ikut menggelengkan kepala. "Bahkan ada dua orang penyihir sekutu yang menetap di sana."

"B-benarkah? Siapa saja?"

"Kala dan Kahina," jawabku mantap.

Aku tersenyum menyebut nama Kala setelah sekian lama, tapi seperkian detik senyumku menghilang. Ah, aku ini kenapa? Bersikap seolah tidak ada yang terjadi, seolah lupa perbuatanku padanya.

Tapi, aku tidak bersalah di sini. Aku menjebaknya dengan kartu kontrak untuk kebaikannya sendiri.

Kontras dengan Oceana yang terbelalak. "Senior Kala-La dan Senior Kahina-Na tinggal di sana?! Astaga, yang benar saja! Jadi alasan mereka menghilang dari akademi karena pindah ke Klan Peri?"

"Yeah, begitulah."

Aku mengembuskan napas panjang guna menjernihkan pikiran yang kapiran. Klan Penyihir jauh lebih menarik dari yang kubayangkan, namun itu bisa dibahas nanti-nanti. Kami sudah diam di tempat ini selama sepuluh menit. Aku tidak ingin rombongan yang mengejar Oceana datang, dan gadis ini malah lupa dengan perjalanannya karena ulahku membuatnya nostalgia pada seniornya.

"Kita harus pergi. Kau sedang kabur karena suatu hal, kan?" Aku menunjuk sapu terbang di sebelahnya.

"T-tapi..." Oceana kembali ragu-ragu.

Apakah baik-baik saja kalau Klan Peri ditambah satu penyihir lagi? Apakah layak untuknya ke bangsa manusia bersayap? Gadis itu belum pernah bertandang ke negara asing sebelumnya. Oceana bukanlah petualang melainkan akademia.

Aku memegang lengannya. "Tak apa kok!"

.

.

Kami berputar jauh melewati zona kawasan Klan Penyihir. Oceana duduk menyamping di sapunya dan aku sudah berani membuka sayapku. Awalnya dia mencicit ngeri dan aku patah-patah menjelaskan, 'aku peri berkelainan'.

Terdengar bodoh, memang. Tapi tidak mungkin kan aku menceritakan kronologi sepanjang itu? Aku tidak punya komunikasi yang baik seperti Kuni.

"Aku baru tahu Klan Peri memiliki cabang," cetus Oceana saat aku menjelaskan tentang Fairyda. "Tampaknya ras kalian juga punya sebuah masalah seperti Klan Penyihir," lanjutnya murung.

"Eh? Masalah?" Aku menatapnya intens.

"Iya! Semenjak <Penghancuran>, keenam pemimpin region semena-mena terhadap negeri mereka sendiri. Fairyda itu kota yang bebas dari pemerintah, kan?" Dia tersenyum cerah melihatku mengangguk. "Kalau begitu syukurlah! Aku tidak perlu takut atau kabur-kaburan lagi."

Aku masih ingin bertanya tentang masalah yang dia maksud. Tapi sepertinya itu privasi dan hanya boleh diketahui sesama penyihir. Dan aku ini peri.

Atau bisa disebut malaikat? Entahlah. Aku sendiri juga bingung aku ini ras apa.

"Aha! Apakah itu Kota Fairyda?"

Huh? Bukannya kami baru terbang tiga jam? Seharusnya masih butuh beberapa jam lagi... Ya ampun, aku lupa! Aish, bodoh sekali kau Verdandi! Fairyda kan sudah punya tanah yang super luas. 

Pucuk-pucuk Kota Fairyda tampak dari kejauhan. Senyumku kembang melihat peri-peri membanjiri udara, asyik beraktivitas. Mereka memakai baju yang dibuat dari daun dan bunga. Ada pria dewasa, wanita paruh baya, remaja seumuran, sampai anak-anak lagi main lempar-lemparan. Asyik beraktivitas.

Aku buru-buru menutup sayapku, menumpang dengan Oceana. "Ada apa?" Bukannya aku dari klan ini? Kenapa aku malah menyembunyikan sayap? Demikian arti ekspresi Oceana yang heran.

"S-sayapku tidak lazim di sini, Oceana. Ceritanya panjang sekali. Kita harus segera ke sekolah peri."

*

Sebagaimana perasaan rindu orangtua pada anaknya yang akhirnya pulang setelah bertahun-tahun di kota orang, itulah yang tengah kurasakan detik ini.

Oceana menghentikan sapunya. Aku melompat turun, menatap akademi tempat aku bersekolah menjadi peri selama setengah tahun, berbinar-binar melihat gedung itu tidak berubah. Masih mirip, masih persis, dengan yang dulu.

"Aku kembali ke rumah..."

Ingatan petualangan yang kudapatkan di sini bermasukan ke benakku seperti CD player memutar film. Aku sangat senang.

Sekolah berstruktur fantasi, padang bunga, alang-alang yang indah, halaman luas tempat seluruh peri berbaris bagai upacara bendera di Bumi. Oceana ikut tersenyum melihatku terbang lalu berputar-putar melepas rindu sepuasnya.

"Di sini tentram sekali!" seru Oceana. "Suasana yang damai dan hangat."

Pohon Neraida. Tatapanku lurus ke pohon beringin besar di lapangan hijau, berdiri sendirian mengatakan bahwa tempat itu singgasananya. Angin sepoi-sepoi menghembus dedaunannya, membuat rontok dan memenuhi tanah.

Tapi, ada pertanyaan besar bersarang di kepalaku setelah aku selesai merindu.

Lihatlah, hanya ada aku dan Oceana sejauh mata memandang. Tidak ada satu pun peri di sana. Apa mereka pindah ke kota yang kami lewati tadi? Tadi aku hanya melihat sepintas kota Fairyda, numpang lewat, belum memonitor secara penuh. Bisa saja kan teman-temanku membuat kehidupan baru di sana.

Sekolah itu sepi seperti sekolah angker di Bumi yang dijadikan wahana konten bagi newtuber nekat. Sekali lagi, hanya ada kami berdua. Ini membuat perasaan senangku menjadi ambyar.

Apa yang terjadi? Ke mana semua peri kenalanku pergi? Apa mereka baik-baik saja? Otakku mulai dipenuhi oleh hormon epinefrin. Adrenalin terpicu. Tidak ada masalah selama aku pergi, kan?

"Verdandi, apa kau mau aku memakai mantra untuk memeriksa gedung ini? Aku punya satu dua mantra yang bisa merasakan aura kehidupan," celetuk Oceana peka dengan gestur tubuhku.

"Tidak, tidak usah." Aku menggeleng, mencoba berpikir positif. "Aku akan menelusuri sekolah. Kau tunggu saja di sini. Jangan ke mana-mana..."

Perkataanku menguap. Sekolah tidak benar-benar kosong. Ada satu orang, ada satu peri. Dia fokus membaca salah satu dokumen dari tumpukan kertas yang dia bawa. Terbang ke arah pohon Neraida tanpa menyadari keberadaan kami.

Aku tersenyum sumringah, mengangkat tangan. Beliau menoleh ke arahku.

"Tuan Alkaran!"




FLY AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang