Aku mengeluh dalam hati. Kenapa harus ketua jablay itu orang yang kutemui pertama kali? Kan aku maunya Sina atau teman-temanku yang lain, tidak harus dia. Aku dan Parnox tidak begitu dekat ataupun berteman. Dia seperti Kuni yang versi sombongnya. Kami tidak cocok.
"Aku tahu kau sedang mengumpatiku dalam hati, Verdandi. Berhenti menatapku seperti itu. Aku juga tidak tertarik dengan bocil sepertimu," sahut Parnox tajam, merapikan bros jubahnya yang timpang.
Apa katanya? Bocil? Keterlaluan!
"Parnox, apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kelangsungan acaranya?"
"Selesai lebih awal, kepala sekolah. Nona Amaras memintaku untuk memindahkan semua peri kembali ke Ngarai Lalipopa. Separuh memilih istirahat, separuh lagi mungkin sedang menuju FLY Academy," katanya sambil menatapku sinis.
Apa ini? Apa dia sedang kode lewat mata?
"HAH?! Mereka lagi menuju ke sini?! A-aku harus kabur—Duk!" Kepalaku mengantuk dada Parnox karena dia tiba-tiba berteleportasi ke depanku. Aku melotot. "Minggir, Parnox! Jangan ganggu aku!"
"Kenapa?" Parnox menyeringai, menahan lenganku. "Kau takut bertemu dengan yang lain? Oh, atau mentalmu belum siap bertemu mereka? Berhenti bermain sembunyi-sembunyi, Verdandi."
Tuan Alkaran memijat kepala. Bilang saja dia tidak mau melihat Sebille sedih lagi.
"Parnox, tolong." Aku menggelepar seperti cacing kepanasan demi mendengar derap langkah kaki dan kepakan sayap, memasang wajah memelas yang selalu berhasil meluluhkan Mama dan Papa.
"Sudahlah, Parnox. Verdandi masih membutuhkan waktu. Lepaskan dia," kata Tuan Alkaran kasihan melihat raut wajahku yang ingin menangis.
Parnox menghela napas datar, beralih melepaskan cengkeramannya terhadap lenganku. Aku pun bergegas membuka sayap, berniat melenting ke lantai dua.
Aku tidak siap dikerubungi mereka dan ditanyai ke mana saja aku selama ini. Aku akan terdesak kemudian tak sengaja menyebut kata 'Bumi' nanti. Kacau sudah.
"Itu hanya Melusina, Sebille dan Rissa lho. Kau tidak mau bertemu mereka? Dasar penakut!" kata susuran tangga.
Eh, Sina? Sebille? Rissa? Aku menoleh ke arah pintu berhuruf U, batal terbang melarikan diri. Ugh. Sahabat-sahabatku. Haruskah aku pergi...?
Parnox yang bersiap-siap kembali ke ruangannya, mengernyit melihatku menutup sayap, menundukkan kepala. Dia tersenyum miring. "Oh, tidak jadi kabur? Bagus, bagus. Selamat bernostalgia."
Tuan Alkaran hanya geleng-geleng kepala, sulit memahami kepribadian mantan ketua akademi itu... Eh, atau jangan-jangan dia masih menjabatnya? Bisa jadi kan Parnox ketos juga di sini.
"V-Verdandi? Kaukah itu?"
Aku terperanjat mendengar namaku dipanggil. Perlahan namun pasti, aku pun membalikkan badan. Sina, Sebille, dan Rissa berbinar-binar kaget. Aku menelan ludah. Baiklah. Tak ada yang perlu aku takutkan. Mereka teman-temanku.
"K-kau benar-benar Dandi? Apa aku bermimpi, Sina?" Salivaku kering mendadak mendengar suara Sebille tercekat.
Parnox memutar bola mata malas. Dia lebih bagus enyah dari sana daripada melihat reunian para gadis.
Aku mengangkat tangan kanan, melambai pelan sembari cengengesan canggung. "H-hai Sebille, Sina, Rissa! Aku datang. Bagaimana kabar kalian?"
Kupikir aku akan dicecar, ternyata aku salah. Sebille sudah duluan memelukku, disusul oleh Rissa. "ASTAGA! Benar-benar Verdandi! Kau Dandi yang asli! Kami sangat merindukanmu!" tutur mereka menatap wajahku sekali lagi. "Astaga!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY Academy
Fantasi[Fantasy & (minor) Romance] SEQUEL of Hush, Fairy Verdandi! Semenjak aku pulang ke tempat asalku, Bumi, satu tahun berlalu begitu saja. Aku menjalani hidup sebagaimana gadis normal pada umumnya sambil terus merahasiakan adanya dunia paralel. Selai...