Aku merindukan teman-temanku.
Satu tahun ditambah sepuluh bulan, hampir dua tahun aku tidak kembali ke sini. Bagaimana aku tidak rindu?
Sebenarnya aku bisa saja membuka sayapku lebih lama dan melenting cepat ke Kota Fairyda, tapi aku tidak mau membuat siapa pun yang kebetulan lewat di angkasa curiga melihat sayapku yang tidak mencerminkan sayap peri normal.
Jadilah aku menaiki seekor hewan mirip kuda di Bumi yang parkir di dekat pohon. Bedanya kaki kuda ini tidak menapak ke tanah, melayang dua meter. Yah, namanya juga dunia lain. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan ganjil ini.
"Permisi, Tuan Kuda, bolehkah aku menunggangimu?" Aku tersenyum ramah.
"Jarang-jarang aku bertemu penyihir berkemampuan bisa berkomunikasi dengan hewan. Naiklah, Nak, aku akan mengantarmu karena kau menarik."
Nikmat Tuhan mana lagi yang kudustakan.
Senyuman manis terpatri di wajahku. Ah, Natural Converse adalah kemampuan yang amat berguna. Aku mengangguk cepat, menaikinya dengan anggun. Walau ia salah paham mengira aku penyihir, tapi tak apalah. Setidaknya aku dapat kuda.
Aku mendongak ke langit, menghirup udara. Aku benar-benar kembali ke dunia ini. Takdir memang lucu. Awalnya aku berpikir aku takkan pernah menginjakkan kaki ke Asfalis lagi, tapi lihatlah, aku sedang berkuda di bawah sorotan cahaya bulan.
Mataku memanas. Aduh, jangan lebay deh, Dandi. Masa kau sampai menangis terharu? Malu-maluin saja.
Untung Kuni tinggal. Dia pasti akan tertawa meledekku yang baperan.
*
Kami beristirahat setelah berjalan tiga jam tanpa henti di sebuah pohon ek. Bokongku kebas, butuh duduk meluruskan kaki. "Apakah kau punya nama, Tuan Kuda? Tak enak memanggilmu begitu," tanyaku mengisi waktu dengan mengobrol.
"Panggil saja aku Kudaku, Nona Ajaib."
Wajahku pias. Panggilan macam apa itu, heh? Kali pertama ada yang menyebutku dengan embel-embel "ajaib" terlebih seekor kuda. Ini pengalaman aneh.
Kami berdua ditutupi oleh kegelapan. Aku sih tidak asing lagi dengan benda UFO melayang di atas kami. Katedral terbang kediaman Sang Dewa alias Sabaism. Istana megah itu mengelilingi Asfalis, berpatroli seperti yang biasa ia lakukan.
Aku berdecak kagum, menatapnya santai. Istana tersebut tidak berubah sedikitpun dari terakhir kali yang kulihat. Dengan sayap malaikatku, aku bisa terbang ke sana namun aku tidak punya ambisi atau impian apa-apa. Sabaism sangat lah menggoda merujuk ia bisa mengabulkan apa pun laksana jin dalam botol.
Fiuh! Untung aku kuat iman.
"Hmm?" Aku mengeluarkan surat undangan FLY Academy yang berpendar. "Apa yang—"
Sebuah sayap kecil tumbuh pada surat itu. Ia meloloskan diri dari genggamanku, kemudian kabur ke udara.
"Tunggu! Kau pikir kau ke mana?!" Aku membuka sayapku, menoleh ke kuda yang makan rumput. "Maaf, Kudaku-san, aku akan meninggalkanmu di sini."
Kuda itu meringkik. Aku segera melesat ke langit menangkap surat undangan yang gesit menghindari tangkapanku.
Gawat. Kalau aku tidak punya undangan, bisa saja aku dilarang masuk ke FA. Tapi jika aku memakai Swift Growers, takutnya aku justru merobek suratnya.
Tidak ada pilihan selain mengejarnya dengan manual. Bikin repot saja!
Aku tidak ingin mengambil resiko terbang di jarak pandang perkotaan. Lebih aman melesat di ratusan kapas lembut dan langit malam sejuk. Sudah lama aku tidak merasa sebebas ini. Di Bumi, aku jarang terbang. Takut. Bagaimana kalau aku menabrak helikopter? Pesawat komersial?
KAMU SEDANG MEMBACA
FLY Academy
Fantastik[Fantasy & (minor) Romance] SEQUEL of Hush, Fairy Verdandi! Semenjak aku pulang ke tempat asalku, Bumi, satu tahun berlalu begitu saja. Aku menjalani hidup sebagaimana gadis normal pada umumnya sambil terus merahasiakan adanya dunia paralel. Selai...