‟Manusia itu.. mereka serakah. Hanya karena nafsu, mereka mampu melukai makhluk lain juga membahayakan sesamanya.”
✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥
Selamat pagi, tak terasa sudah libur lagi. Semua berkat para buruh-tani bekerja keras setiap saat. Sekarang waktu yang bagus untuk menikmati hasil mereka. Perayaan panen besar-besaran diselenggarakan hari ini, hari terakhir aku berkunjung.
Di negri tirai bambu, adalah hal yang lumrah bila dalam suatu perayaan ada sesembahan yang juga harus diberikan untuk para arwah dari nenek moyang dan raja-raja kuno. Entahlah, aku tak begitu mengerti karena aku hanya pendatang.
Dan disinilah aku, di hutan bambu, sendirian, menghindari keramaian. Jangan tanya kenapa, 'I just need time'.
Di pagi hari yang cerah, secercah sinar yang menerangi sudah cukup terang. Aku melukis pemandangan hijau dari objek apa yang kulihat seperti yang biasa kulakukan sejak dahulu. Sembari mendengar lagu penyanyi favoritku, Gou Mingrui, dari handphoneku dengan volume sedang.
Yah.. setidaknya begitulah yang kulakukan, sampai akhirnya aku bosan dan memutuskan tuk berkeliling.
Tak ada yang cukup menarik perhatianku, daritadi hanya ada beberapa serangga menghampiriku. Aku berusaha melukis semua, entahlah sudah berapa banyak lukisanku yang terdapat gambar sejenis ini..
Setelah lama berkeliling, sepertinya aku tersesat (lagi).
Dan lebih buruknya, kurasakan kakiku basah..
Aku refleks melihat ke bawah. Mataku mendapati air jernih yang terus mengalir entah darimana asalnya, sepertinya ada sebuah mata air yang tak pernah diketahui disini. Rasa penasaran membawaku menelusuri asal air itu, langkah demi langkah kujalani sambil melihat-lihat sekeliling.
Dan akhirnya sampai ke tempat ini.
Aku mengangkat sebuah batu yang menutup arus dari air itu dan memindahkannya bersama bebatuan lain.
"Apa itu?"
Ternyata itulah air terjun kecil yang menjadi sumber mata air mengalir membasahi kakiku tadi, saat ini hanya ada satu kata yang terlintas di pikiranku, "Cantik..", sepertinya mata air ini alami terbentuk tanpa campur tangan manusia.
Tanpa pikir panjang, tanganku bergerak mencampur warna dan memainkan kuasku. Untuk melakukan semua itu, tentu aku harus duduk, kuputuskan untuk mendaratkan bokong di tumpukan bebatuan yang ada. Lalu dengan nyaman, aku bisa melukis pemandangan di hadapanku. Bisa dibilang, seni yang berasal dari alam terlalu indah bila hanya difoto, ditambah suara menenangkan dari air yang mengalir tanpa dibantu oleh mesin membuatku nyaman dan betah berlama-lama untuk sekadar bernapas disini. Suasana yang asri begini hampir mustahil kudapati dua kali dalam hidupku.
Beberapa kupu-kupu juga kumbang emas melintas di sekitarku. Semua hal yang kutemukan di sini mungkin biasa, tapi spesial untukku, karena hari ini pun, aku belum melihat 'dia'.
Sampai..
Puk
Ada yang menepuk pundakku, aku langsug berbalik.
Badanku membeku sejenak, tenggorokanku tercekat untuk beberapa saat, hingga..
"Aaaaa!!", teriakan nyaring itu keluar dari mulutku.
Kulihat seorang laki-laki sebayaku berpakaian aneh seperti pada zaman dinasti cina dahulu, daun telinga yang ada di kepalanya bergerak-gerak seperti sungguhan, dan pinggang belakangnya dihiasi ekor banyak yang berkilau. Dia menutup kupingnya lalu berlari menjauh entah kemana.
Mungkin ia terkejut karena teriakku(?)
Aku membereskan peralatan dan buku sketsa yang kubawa dan bergegas mencarinya. Hanya ada satu pemikiran cemerlang yang terlintas di otakku sekarang, "Dia mungkin makhluk jadi-jadian yang bisa membantuku keluar dari sini.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Refraksi (unfinished)
Fantasy"Pelangi, terjadi akibat adanya pembiasan cahaya. Ianya Indah, tapi hanya sementara.. Di kehidupan ini, aku akan kurangkai aksara yang mendokumentasi refraksi itu agar abadi. Jurnal tentang aku, kamu, dan dunia kecil kita." _Severa Azalea