"Kamu indah, Severa."
- Jaya -
✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥
Malam setelah bazar sangat melelahkan. Berlatar tempat dengan nuansa nyaman, kamar adalah ruangan terbaik untuk beristirahat di kala penat setelah bekerja keras.
Siang tadi itu ramai sekali. Sepertinya seluruh siswa kelas 11 dari SMA Bahtera angan ikut, kalau jumlah perkelasnya tiga puluh orang saja, maka total mereka bisa mencapai tiga ratusan. Ditambah dengan siswa SMA mereka yang perkelasnya lebih dari tiga puluh, adik kelas yang ikut datang menonton, serta kakak kelas gabut nyerempet kurang kerjaan yang datang dengan alasan cuci mata. Kalau ditotalkan jumlah orang disana, mungkin akan mencapai seribu jiwa. Kecuali ada banyak yang tidak punya jiwa.
Lampu kamar dimatikan, di bawah sinar bulan yang terang benderang, ditemani lampu meja kecil sebagai cahaya pendukung, Severa masih sibuk dengan naskah novel dan gambar digitalnya yang setengah jadi. Dia sedang bingung, bagaimana cara agar tulisan yang ia punya dapat dikonversikan menjadi komik. Bukannya terlalu percaya diri dengan gambar yang dilukisnya, melainkan Severa tak kunjung menemukan hal menarik apa yang membuat orang-orang menyukai tulisannya, di samping itu keuntungan komik digital juga sangat menggiurkan. Kalau saja sampai bisa meledak di internet, maka dia tidak perlu lagi memikirkan akan makan apa di esok hari, harus jadi apa nantinya, bagaimana mempertahankan hidup kedepannya, karena setidaknya dia sudah punya penghasilan yang tetap untuk beberapa tahun kedepan. Masalah tahun berikutnya setelah karya selesai, itu masih bisa diatur oleh Severa.
"Kalau capek, istirahat dulu."
Jaya datang membawakan segelas cokelat panas untuk Severa. Masih teringat kata Rajendra kemarin-kemarin,"Mari kita melewati waktu dengan bemain permainan papan, bermain tic tac toe, minum cokelat panas, bermain tic tac toe, kemudian menyelesaikan puzzle, menonton TV, minum cokelat panas, menyelesaikan puzzle, bermain permainan papan, minum teh panaaaass-" omongan yang itu yang membuatnya berinisiatif.
Sekarang sudah pukul 22.59 malam, sudah sangat larut, selisih beberapa jam dari waktunya minum obat. Severa mulai mengonsumsi obatnya secara teratur, dua kali sehari, pagi dan malam setiap jam tujuh. Dia membulatkan tekad untuk melangkah pergi meninggalkan semua halusinasi secara perlahan-lahan.
"Kamu sendiri?" tanyanya tanpa menoleh dari pekerjaan.
"Laper.."
"Terus?"
"Minta makan, dongg."
Agak tidak tahu diri, padahal sudah makan tiga porsi sore tadi.
"Kalau aku nggak mau ngasih gimana?"
"Jahat."
Brukk
Jaya agak menghempaskan diri ke kasur empuk Severa. Ingin tidur tapi perut bilang 'enggak dulu', kan menyebalkan. Jaya kesal pada Severa.
"Udahlah Jaya, masak mi instan aja, sana! Jangan gangguin aku," titah Severa menyuruhnya pergi sebentar.
"Gak mau, kata kamu gak sehat," bantah Jaya.
Ya memang. Faktanya, kadar karbohidrat, lemak, dan garam pada mi instan lumayan tinggi, namun protein, serat, vitamin, mineralnya rendah. Kandungan gizinya tidak mencukupi keperluan nutrisi harian. Begitu kata mbah gugel.
"Sekali-kali gakpap-"
"Eh, sejak kapan aku bilang gitu?"
Perasaan Severa dia tidak pernah berkata begitu. Jaya sedang mengarang kah?
"Kertas tempel di pintu kulkas."
Oh.
"Oh."
Severa kembali melanjutkan gambarnya. Sudah hampir selesai panel ke-43, dia hanya harus menambahkan beberapa detail latar belakang tempat dan menyesuaikan dialog para tokoh dengan gelembung bicara. Meski tampaknya sederhana, itu pekerjaan yang memakan banyak waktu. Gadis itu rasanya sudah muak dengan semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Refraksi (unfinished)
Fantasy"Pelangi, terjadi akibat adanya pembiasan cahaya. Ianya Indah, tapi hanya sementara.. Di kehidupan ini, aku akan kurangkai aksara yang mendokumentasi refraksi itu agar abadi. Jurnal tentang aku, kamu, dan dunia kecil kita." _Severa Azalea