Dengan kata lain, omongan dan perbuatan buruk orang-orang, ngapain dipikirkan? Toh, gak akan mengubah apa pun, gak ada gunanya.
✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥
"Wah~"
Decak kagum acap kali terdengar di telinga sejoli ini.
Ada yang bilang kalau 'keberadaan wanita cantik itu sudah biasa, tapi kalau pria tampan, itu jarang dijumpa'. Pandangan orang-orang sering tampak teralihkan pada Jaya. Bagaimana tidak?
Penampilannya yang bisa dibilang sederhana tak membuat karismanya luntur. Sebenarnya apa pun yang Jaya pakai, akan terlihat bagus, proporsi badan dan mukanya mendukung hal itu. Sedari tadi perhatian orang-orang pun bukan ada pada apa barang yang ia pakai, melainkan tertuju pada wajahnya.Entah sejak kapan begini, Severa lihat-lihat rubah di sampingnya ini ganteng juga.
"Pasangan good looking.."
Deg!
Jantung gadis itu mulai berdebar kencang saat ada yang mulai membicarakan tentang penampilannya.
Mereka sedang berhenti di depan kafe, sarapan siang dulu sebelum mulai berbelanja mengisi stok makanan di rumah. Mungkin karena kafenya baru buka, dua baris antreannya jadi sangat panjang sampai-sampai ke luar toko. Di bawah meja payung, segerombolan anak yang tampaknya familier berkumpul, mungkin dari sekolah yang sama dengan Severa, entahlah, gadis itu tak pernah sudi mengingat keadaan sekitarnya.
"Cewek itu siapa sih? Mukanya geradakan banget.."
Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum.
"Cantik sih, tapi kok kulit wajahnya begitu?"
Fakta bahwa ia tak pernah sempat merawat penampilan benar-benar menyedihkan. Orang-orang yang tenggelam dalam depresi dengan yang mempunyai kehidupan normal itu berbeda. Standar kecantikan bagi mereka yang fokus pada cara bertahan hidup untuk hari esok, berbeda dengan definisi cantik bagi orang-orang. Bagi mereka, cantik itu tanpa luka. Kebanyakan penderita depresi beranggapan bahwa cantik itu cukup dengan kondisi tubuh yang sehat, tanpa bekas sayatan benda tajam atau pun lebam, rambut panjang yang tidak rontok, dan darah mengalir di dalam tubuh, bukan di luar. Dunia mereka berbeda, begitu juga standar dan pandangan terhadap hidup.
"Mukanya gila banget, tuh cowok ada hubungan apa ya sama cewek di sebelahnya?"
"Pacaran mungkin.."
Wajah mereka yang dari tadi berkomentar terlihat tidak asing bagi Jaya. Mungkin pernah bertemu di suatu tempat? Dia minta Severa untuk menunggu di tempat, dia bilang tidak akan pergi lama. Jaya coba menghampiri salah satu diantara mereka untuk memastikan.
"Permisi," tegurnya.
"Oh, hai!"
Salah seorang yang tampaknya adalah pemimpin dari geng ini bangun dari posisi duduknya. Kakinya terus melangkah maju mendekati Jaya. Sepuluh sentimeter, jaraknya hanya 10 cm dari muka ke muka.
Jaya lebih mendekat lagi.
Jantung mereka berdebar. Kapan lagi coba sedekat ini dengan cogan?
"P*rsetan dengan mukaku. Mulut kalian bau limbah, mending diem deh," bisik Jaya tepat di telinga ketua mereka.
Dia lalu melengos pergi, kembali ke tempat awal, beliau satu ini menepati janjinya.
"Severa," panggilnya.
"Hm?"
"Kalau diperhatikan, kamu seperti kurang perhatian," candanya tidak jelas.
Apa kata Jaya? Severa kesal, dia mencubit pipi tirus itu dengan kencang. "Heh!" bentaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Refraksi (unfinished)
Fantasy"Pelangi, terjadi akibat adanya pembiasan cahaya. Ianya Indah, tapi hanya sementara.. Di kehidupan ini, aku akan kurangkai aksara yang mendokumentasi refraksi itu agar abadi. Jurnal tentang aku, kamu, dan dunia kecil kita." _Severa Azalea