‟Jika aku mampu, akan kupertaruhkan seisi semesta demi kamu, konstelasi favoritku.”
✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥
Malam terasa lebih lambat daripada biasanya. Severa memilih untuk menyendiri di kamar. Entah bagaimana keadaan di luar, yang jelas ia kesepian, dia harap Jaya segera pulang. Gadis itu jadi agak menyesal menyuruh Jaya untuk tidak pulang bersamanya tadi. Tak disangka, rumah akan sesepi ini.
Severa melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam, sudah jam segini tapi belum pulang, yang membuat situasinya jadi lebih buruk adalah gadis itu tak berniat dan tidak kunjung mandi sampai sekarang.
Setelah lama bersandar pada dinding kamar sembari memikirkan semua yang dialaminya hari ini, rasa kantuk menghampiri. Namun ia tidak langsung tidur, nalurinya memerintahkan untuk mandi terlebih dahulu agar daki hilang dan bau semeriwing ketiak tidak lagi datang. Sebenarnya bukan mandi biasa, tapi sembari menyelam minum air. Mandi hanyalah alat, tujuan Severa itu ketenangan dan sensasi rileks, juga konser solo tentunya.
Severa mengambil handuk putih miliknya lalu melesat ke kamar mandi.
"You know you love me, I know you care.
Just shout whenever and I'll be there.
You are my love, you are my heart.
And we will never, ever, ever be apart~"Setelah selesai dengan semua ke sok-sibukan nya, ia kembali ke habitat alaminya. Ruangan penuh hampa sekaligus rasa nyaman.
"Ibu?"
Lagi-lagi 'mereka' muncul.
Entah mengapa kakinya mulai terasa lemas, yang pasti bukan karena rematik atau karena barusan dia mandi malam. Badannya merosot ke bawah hingga mendarat di lantai, "Haah, bahkan setelah mandi pun masih kepikiraaan." rengeknya dengan lantang.
Semua campur aduk di kepala. Antara halusinasi dan realitas, antara nyata dan tidak. Severa bisa melihat semuanya sekarang. Ia merasa seperti anak kecil yang tersesat di ilusi tak bertepi. Semua masalah di hidup membuatnya takut untuk melangkah menghadapi kenyataan. Di samping itu, bayang Ibu terasa begitu nyata, Ibu dengan senyum manis dan pelukan hangatnya. Halusinasi yang begitu indah dihadapkan padanya, membuatnya ingin berhenti sampai di sini. Tapi garis finis nya bahkan belum terlihat, apakah ia harus menyerah di tengah-tengah jalan?
Mengapa hanya bayangan? Apakah suatu saat ia bisa menggapai bayang itu? Kenapa waktu begitu kejam hingga merenggut Ibu secepat ini?
"Aaaaaaaaa!!!!"
Untungnya di sekitar rumahnya sedang tidak ada orang, jadi tidak ada yang akan mendatangi kamarnya dan bertanya kenapa berteriak. Bisa dibilang dinding kamar Severa kurang tebal jika dibandingkan dengan kekuatan menguping pamannya, Asep. Dan sekarang Asep bersama istrinya sedang pergi entah kemana selama seminggu, kesempatan emas bagi anak tunggal mereka menginap di rumah kawan-kawannya yang tersebar luas di kabupaten ini.
Severa merangkak untuk menaiki kasurnya.
Di saat sepi seperti ini biasanya ia tidur dengan nyenyak, tapi malam ini rasanya belum mengantuk.
"Mungkin karena baru selesai mandi.." pikirnya.
Ia membaringkan badan di kasur empuknya yang ia sayangi, mencoba menutup mata sebentar, namun tak lama ia kembali membukanya. Pasalnya wajah dari temannya Huang Zihao terbayang saat ia menutup mata, kan ia merasa gugup.
Ia menggelengkan kepala, namun pikirannya yang tidak terkendali mengingat kembali perkara-perkara yang telah berlalu. Hao yang menepuk pundak saat ia sedang menendang kerikil kecil di tengah jalan, hingga Hao yang mengantarnya sampai depan rumah bibinya dahulu karena mereka bertetangga, dan jangan lupakan insiden kucing petualang di penghujung musim semi saat itu. Belakangan ini pun, sikap Hao sedikit berbeda dari sebelumnya. Komunikasi antara Severa dan temannya itu mulai terasa lebih dari sekadar teman biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Refraksi (unfinished)
Fantasy"Pelangi, terjadi akibat adanya pembiasan cahaya. Ianya Indah, tapi hanya sementara.. Di kehidupan ini, aku akan kurangkai aksara yang mendokumentasi refraksi itu agar abadi. Jurnal tentang aku, kamu, dan dunia kecil kita." _Severa Azalea