02. Rumah yang Menghangat

7 1 0
                                    

"Pikiran itu sulit dikendalikan, mudah dibebaskan, dan rumit dalam beberapa kondisi tertentu. Bagi mereka yang punya masalah terkait psikis, jangankan pikiran, bahkan sulit untuk mengendalikan perlakuan yang mereka peragakan."

Seorang remaja laki-laki dengan pakaian sekolahnya duduk di kursi dalam ruangan serba putih, ia mendongak, memejamkan mata, dan menghela napas berat. Kalimat yang barusan ia dengar sungguh memenuhi kepalanya dengan cepat.

"Terus, apa lagi yang bisa dilakuin selain sabar?"

Beberapa sekon terlewati dengan senyap tanpa suara. Yang terdengar hanya tarikan napas, di ruangan yang hanya diisi oleh dua orang, itu cukup terasa canggung, bukan?

Untungnya keheningan tidak berlangsung lama, wanita dengan profesi psikiater di hadapannya mengangkat kedua ujung bibir, membentuk senyum tipis yang terlihat sudah pasrah.

"Theo Givanka, kamu harus menjaga kakakmu dengan baik, ya.."

Dan kalimat itu lagi untuk sekian kalinya. Givan sudah merasa bosan mendengarnya, meski sampai sekarang pun masih tak dapat ia sangkal bahwa itulah rangkaian frasa yang tak pernah gagal membuat hatinya berantakan.

"Saya yakin kalian bisa melewatinya, kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu kesembuhannya. Untuk sekarang saya mohon pada kamu untuk bertahan, tolong tetap bernapas, setidaknya bertahanlah sampai konflik kalian usai. Kalian pasti bisa."

Lagi-lagi hembusan napas pasrah terlepas, kali ini dari keduanya.

Givan menghempaskan punggungnya ke sofa dan menutup mata,
"Bertahan, ya katanya?"

.
.
.

"Ibuu! Kangenn!"

"Sayangg!"

"Masyaallah nak.."

"Udah balik aja lu bro."

Keadaan riuh akan sapaan dan lelucon, pelukan yang lebih tulus daripada saat pernikahan dilakukan, pertemuan setelah sekian lama dilakukan oleh ratusan manusia. Pelepasan rindu pada orang-orang tersayang terjadi di seluruh penjuru bandara. Meski begitu, tak sedikit juga yang menyambut perpisahan.

Iri.

Severa iri pada mereka. Ia mengepalkan tangannya dengan maksud menyalurkan perasaannya yang campur aduk. Kalau saja boleh, ia ingin sekali berteriak dan menangis sekarang juga. Tapi..

"Dunia gak akan berubah hanya karena tangisan satu orang." gumam Severa.

Severa Azalea kembali menginjakkan kaki ke tanah kelahirannya, Indonesia. Hari-hari libur di kota Jilin, negeri tirai bambu telah usai. Sekarang saatnya kembali menghadapi kenyataan pahit yang menunggunya. Bersama kesendirian, tanpa adanya keluarga, teman, sahabat, kekasih, bahkan uang di sakunya.

"Hei, berhenti disana!"

Ah, lagi-lagi suara itu.. Severa berani taruhan bahwasanya suara itu berasal dari kepalanya. Meski begitu ia tetap menoleh ke belakang.

Dilihatnya dari atas sampai bawah rupa orang yang telah meneriakinya.

Begitu nyata. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, tak ada celah halusinasi terlihat. Bahkan hembusan napasnya pun tergesa-gesa. Seakan-akan memang Severa yang ia cari.

"Kamu pasti termasuk salah satu diantara mereka.." lirih gadis itu.

"Ketemu!"

Puk

Seolah takut kehilangan, dipeluknya badan yang tak berisi itu dengan erat. Tangannya yang kasar mengusap punggung Severa dengan lembut. Sepasang matanya ia pejamkan begitu saja.

Jurnal Refraksi (unfinished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang