04. Samar Rasa

5 1 0
                                    

Byurr

Di keadaan berangin, bagaimana kalau kau basah oleh air hijau dari selokan?

Air yang bau, kotor, penuh kuman dan bakteri. Bagaimana jika kamu yang tak pernah membuat masalah apapun tiba-tiba saja diguyur hingga basah kuyup?

"Hahahaha"

Suara tawa yang menjijikkan, bayangkan setiap hari kau dipaksa mendengarkan nya. Lagi-lagi di tempat yang sama, kau terpaksa menjadi bahan tertawaan. Ingin hati rasanya melawan, namun apa daya tak punya kekuasaan. Video yang diunggah di situs web anonim sekolah tentangmu ditonton oleh banyak orang, ratusan komentar menghujani dan ribuan suka kau terima dalam kurun waktu satu hari. Semua begitu menikmati kontennya, namun permasalahannya, kau sedang dipermalukan.

"Maaf ya, habisnya lu bau sih, makanya  gue siram. Yah, meski airnya juga sama baunya kayak lo."

"Pfftt.."

Dingin, malu, dan sakit..

Setiap hari gadis berpipi bulat itu meneriakkannya dalam hati, "Why always me?"

Klangg

Tepat sasaran. Sebuah kaleng dilempar tepat mengenai kepala target, bunyi yang nyaring terdengar jelas. Tak perlu ditanya siapa pelakunya, tanpa sepatah kata pun seluruh penghuni sekolah pasti tahu siapa yang berani melakukannya.

"Oi!"

Seorang anak laki-laki kelahiran tahun 2005, dengan bola basket yang selalu dibawa kapanpun. Penampilan selalu urak-urakan, sepatu putih dengan kaki telanjang tanpa kaos yang harusnya disanksi, jas almamater tidak dipakai, kancing baju dibuka semua sehingga memperlihatkan kaos dalam, juga dasi yang entah kemana. Luka dan lebam yang belum ditutup memenuhi wajahnya yang tampak polos, rambut yang panjang tapi tetap terawat ikut mendukung ciri khas dari ia. Dikenal dengan julukan 'bajingan ganteng', Theo Givanka.

"Dia punya gue." kata Givan dengan pandangan merendahkan.

"Cabut, anjir!"

Givan mengepalkan tangan kirinya, rahangnya mengeras, amarah kini mengambil alih pikirannya. Bahkan alam pun seolah-olah mendukung aura pembunuh Givanka untuk memancar, awan hitam mulai berkumpul menutupi sinar sang surya (memang dari tadi mendung, sih) dan angin semakin kencang.

Beberapa saat sebelum kehilangan kendali, seseorang mencegahnya.

"Givan, kamu dipanggil guru BK ke ruangannya. Jangan buang waktu atau.. apapun itu, ayah kamu nunggu di sana." ucap orang itu.

Dia seseorang yang bertolak belakang dengan Givan, penampilan rapi dengan kelengkapan seragam yang bagus, tak lupa prestasi dan kelakuan baik. Bisa dibilang primadona sekolah ke dua setelah ketua ekstrakulikuler Sepak Bola, Hayden. Dia kandidat wakil ketua OSIS dari kelas XI IPA 1, Atika Eleanor.

"Biarin dia nunggu."

Namun meski penolakan, Atika tetap berusaha membawa rivalnya itu.

"Ayah kamu tampak menyesal. Kamu yakin gak pengin ketemu?"

Dengan pandangan sedikit menunduk, tanpa berpamitan terlebih dahulu, Givan melengos pergi.

Uluran tangan yang dinanti datang, namun tidak sepenuhnya tangan itu diulurkan untuk membantu.

Atika tersenyum tipis, ia mendekatkan wajahnya ke telinga Alaric.

"Kamu harus tetap hidup buat olimpiade sains tahun ini. Kalau kamu ada dalam kehancuran, jangan melibatkan orang lain. Keep profesional, ya!" bisiknya lalu pergi dengan senyuman manis.

Di dunia ini, tidak ada yang bisa dipercayai sepenuhnya kecuali Tuhan.

.
.
.

"Sunset has come, let's go home, brodi." ucap seorang berjiwa jamet yang tiba-tiba datang.

Jurnal Refraksi (unfinished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang