19. Sebenarnya, Ada Apa?

2 1 1
                                    

"Tuhan pasti adil. Semua masalah dan anugerah dibagi berdasarkan kemampuan kita.."

✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥

Mereka pulang. Hari yang panjang diisi dengan jalan-jalan tak beralasan, sekarang selesai. Waktunya membersihkan diri yang telah diluputi bau matahari dan sedikit keringat.

Jaya dan Severa sedikit mengendap-endap untuk masuk melalui pintu belakang.

Gadis itu memutuskan untuk lewat sana saat mengetahui bahwa pamannya sedang berbincang hangat di teras rumah mereka. Di tambah orang yang diajak bercengkrama oleh pamannya itu adalah orang yang sangat tidak ingin mereka berdua temui sekarang. Wajah oriental dengan perawakan tinggi putih, sekilas mirip sama Bapak Jokowi versi cina, Huang Zihao.

Glek

Jantung mereka berdegup kencang. Bukan karena saling jatuh cinta, melainkan sadar bahwa saat ini adalah saat terjadinya puncak konflik kejadian hari ini yang patutnya mereka hindari.

Untunglah, mereka berhasil tanpa halangan.

Severa segera menutup dan mengunci kembali pintunya. Jaya disuruhnya untuk bersembunyi saja di kamarnya, ruangan yang tidak akan dilihat oleh siapa pun kecuali dia dan orang yang ia perbolehkan. Bukannya kenapa kenapa, hal yang di takutkan adalah bagaimana kalau nanti paman masuk dan melihat-lihat isi loteng? Itu akan lebih berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka.

Sore menjelang malam ini, Jaya tidak keluar dari sana sama sekali.

Tubuh gadis itu merosot ke bawah, ia bersandar di depan pintu kamarnya sendiri. Tak dapat dipercayainya, dia telah membiarkan seorang anak manusia lain -secara teknis bukan lagi anak-anak dan setengah manusia- berada di sana sendirian.

Helaan napas panjang terdengar.

Severa mulai memperhatikan apa yang dua orang di depan rumahnya itu bicarakan.

"Ya, begitulah. Memang dia suka berhalusinasi, kami sudah membawanya ke macam-macam tempat untuk terapi, tapi hasilnya belum ada."

Ah, iya..

"Saya turut prihatin, tapi biar bagaimana pun kondisinya, saya akan tetap menerima dengan lapang dada."

Apakah semua itu tadi hanyalah bayang kekhawatiran?

"Anda memang sangat baik hati ya, Hao."

Jadi masih belum sembuh, ya?

"Tidak juga~"

Severa jadi merasa bersalah sekarang. Jalan-jalan menikmati hari bersama Jaya, dengan pikiran dan tujuan mau berpaling, sepertinya itu terdengar jahat sekarang. Jika semua hanya bayang belaka, maka di sini, Severa lah penjahatnya. Sebenarnya kenapa bisa jadi serumit ini? Terlalu sulit kah membedakan kenyataan dan espektasi? Setidak pantas itu dirinya merasa lega tanpa dibebani rasa bersalah?

"Sepertinya ini sudah waktunya saya kembali."

Tidak.

"Kapan-kapan mampirlah, ya!"

Tunggu..

"Jangan!" Teriakan itu sampai ke telinga keduanya.

"Hah?"

Tanpa ba-bi-bu lagi, gadis itu berlari memeluk pujaan hatinya.

Hao kaget bukan main. "Kamu.."

"Setelah semua yang jelas-jelas aku lakukan di hadapanmu, kamu masih menganggap ini halusinasi? Padahal aku sudah menahan diri dan hati agar bisa membuatmu pergi ... Tapi mengapa? Kenapa bukan amukan atau rasa murka yang aku dapati? Kalau begini aku jadi merasa bersalah sekali, sialan. Kapan si brengs*k ini bisa melepasmu kalau terus begini?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jurnal Refraksi (unfinished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang