09. Dairi Hitam Putih

5 1 0
                                    

Karena bukannya 'Jangan mati, mati itu dosa!' atau 'Jangan mati, kamu akan abadi di neraka!', melainkan Tuhan bilang, 'Jangan mati, aku mencintaimu, hambaku..'.

✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥

Malam hari, sepulang dari kafe..

"Kamu tidur di halaman belakang, ya."

Gadis itu baru saja pulang. Baru saja masuk menginjakkan kakinya ke dapur untuk makan malam. Meja sudah dipenuhi makanan berkuah khas Asia Timur yang bercita-rasa pedas dengan air dingin sebagai minumannya, hangat layaknya rumah yang Severa kenal dahulu. Namun bukannya berterimakasih dan bicara yang baik, ia malah melampiaskan kekesalan pada Jaya yang tak bersalah dalam hal ini.

"Kenapa?"

Tidak biasanya Severa seberani ini. Biasanya ia selalu ketakutan kalau-kalau keberadaan Jaya diketahui orang lain. Apalagi mengingat fakta bahwa ia adalah laki-laki yang terlihat sebaya dengan Severa yang tinggal sendiri. Bisa-bisa nanti mereka digrebek warga sekitar dan dituduh yang tidak-tidak.

"Aku mau sendirian dulu." putusnya.

Jaya menolak, "Kan aku ada di loteng."

Tapi tetap saja Severa yang kesal ingin menang sendiri, dan saat ini melampiaskannya pada Jaya adalah satu-satunya pilihan yang tepat buat mengatasi rasa jengkelnya.

"Benar juga, cih."

A few moments later..

Piakk

"Sudah dapat berapa nyamuk, ya?.."

Plakk

"Oh, ada satu lagi."

Jaya menghela napas panjang, "Kayaknya dia menyimpan dendam terkesumat buatku.."

Pusing, pikirannya seolah dikosongkan begitu saja secara mendadak. Tidak terpikirkan untuk memikirkan apa pun, toh tujuannya cuma untuk melayani kehendak dan menjaga Severa untuk tetap hidup sampai akhir hayat sehingga jimat keabadian itu akan hancur dengan sendirinya. Jaya juga sadar diri, dia cuma numpang, tidak layak membantah Severa yang berhak atas kepemilikan rumah ini.

Setelah lumayan lama menunggu tanpa melakukan apa pun, ia kembali masuk.

Severa sudah meninggalkan dapur.

Jaya tahu pasti ke mana perginya.

Tiap pagi, siang, sore, malam, sepanjang hari terutama pada hari minggu, Severa Azalea habiskan waktunya untuk menyendiri di kamar dengan mengisi segala luang untuk kerja sampingan. Tugasnya dan tugas anak-anak lain yang segudang tidak membuatnya mumet, bahkan sebenarnya Severa itu pintar, cuma ia tidak tertarik dengan sekolah dan dunia pendidikannya. Kamar selalu jadi tempat ternyaman bagi Severa.

Jaya berjalan perlahan-lahan menuju kamar berantakan itu.

Ceklek

Ia buka perlahan-lahan pintunya agar tidak mengganggu.

Sepasang netra kecoklatan itu disambut dengan pemandangan seorang gadis yang tengah memainkan pensil kayunya di atas selembar kertas putih. Entah karena sinar rembulan yang menghipnotis atau apa, Jaya merasa ada suatu hal yang menariknya untuk menghampiri gadis itu, sesuatu yang tak ia ketahui secara pasti bagaimana bentuknya.

Jaya melangkahkan kaki jenjangnya ke sana. Diam-diam ia menghampiri Severa, matanya yang berkelana ke sana-sini mengintip kesibukan yang tengah dilakukan gadis itu dari belakang.

Baiklah, Jaya bisa merasakan wajahnya memanas sekarang.

"Itu.."

Terlukis indah sebuah gambar rubah berekor sembilan dan seorang laki-laki dengan wajah yang rata. Begitu banyak bunga anyelir gelap disekitarnya, bersamaan dengan coretan cairan hitam yang tak kalah banyak dari itu. Penggambaran sosok yang begitu asing bagi Jaya, tapi Jaya yakin itu adalah dirinya.

Jurnal Refraksi (unfinished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang