"Kalau gitu bakal kubuat kamu jatuh cinta lagi."
"Kenapa?"
"Agar duniaku kembali."
Dan
Cinta itu memang aneh, ia membuat seseorang lebih memprioritaskan kebahagiaan orang lain dibanding diri sendiri. Bahkan jika harus tersakiti pun tidak apa, asalkan si 'dia' bahagia, hidup sekelam apa pun akan terasa indah berwarna. Dan ia nya tak butuh balasan, dusta jika cinta menuntut balas.
✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥
Ruang kelas yang begitu sepi bak kuburan baru, hanya ada beberapa anak manusia yang baru sampai. Wajar, ini masih jam setengah tujuh pagi. Karena adanya jalur zonasi di tahun pendaftaran mereka, rata-rata siswa di sini rumahnya dekat dari sekolah, jadi mereka lebih santai dan memilih untuk datang jam tujuh kurang beberapa detik, asal jangan terlambat saja. Semampai, seratus meter tidak sampai. Beberapa orang rajin yang lebih dulu datang itu adalah Severa, Alaric, Riki, dan seorang wibu di bangku belakang, Minke.
"Severa."
"Ya?"
Severa mengarah ke sumber suara. Gadis berdarah jerman di sebelahnya ikut menoleh ke belakang.
Itu Theo Givanka, manusia paling ditakuti di seluruh sekolah karena kasus pembunuhannya beberapa tahun silam. Katanya bisa berkeliaran lepas karena uang sogok ayahnya pada pihak kepolisian. Walau itu tidak benar, Givan tidak memberi klarifikasi apa-apa. Lagi pula siapa yang percaya bahwa Givan si pembunuh sebenarnya telah menerima ganjaran yang setimpal atas perbuatannya di penjara.
"Kamu dipanggil ke ruang BK. Sendiri." katanya yang baru saja sampai di kelas.
Loh? Perasaan Severa ia tidak pernah membuat masalah apa-apa dengan siapa pun. Lalu apa alasannya ia dipanggil?
"Ada apa?"
Givan menjawabnya ketus, "Mana ku tau."
"Ck."
Severa berjalan pergi dengan menghentakkan kakinya, ada sedikit kekesalan ia simpan, sisanya merinding karena dia bicara langsung dengan seorang Theo Givanka.
Sekarang hanya tersisa tiga orang Givan, Alaric, dan Minke yang sedang sibuk menonton anime favoritnya.
"Nezuko-chan~" gumamnya sambil memeluk layar gepeng smartphone.
Wibu!
Givanka mengabaikan fenomena tak layak pandang itu, sedangkan Alaric menatapnya heran seolah mengalami culture shock.
"Ikut gue." ajak Givan yang terdengar seperti suruhan.
Mau tidak mau Alaric menurut. Ia tidak ingin cari masalah.
Sesampainya di tempat yang telah ditentukan..
Dedaunan kering bertebaran di mana-mana, sampah plastik di kursi penonton bukan main banyaknya. Dan bau, bau keringat dari baju-baju para anggota yang mereka tinggal begitu saja di dekat tiang ring sudah semerbak membusuk. Lapangan basket yang begitu sepi dan berantakan, tak heran menang nominasi lapangan terburuk.
"Maaf."
"Gapapa, kok."
"Bukan soal bau nya."
"Oh.."
Givan yang semula membelakangi Alaric, berbalik badan memandanginya. Ia menatap dalam sepasang netra kecoklatan itu dengan pandangan campur aduk yang sulit didefinisikan.
"Kamu.."
Namun mata tak bisa berdusta, rasa bersalah dan kecewa lah yang dominan.
"Gak mau tau apa yang sebenernya terjadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Refraksi (unfinished)
Fantasy"Pelangi, terjadi akibat adanya pembiasan cahaya. Ianya Indah, tapi hanya sementara.. Di kehidupan ini, aku akan kurangkai aksara yang mendokumentasi refraksi itu agar abadi. Jurnal tentang aku, kamu, dan dunia kecil kita." _Severa Azalea