06. Bertahan

4 1 0
                                    

"Aku.."

Dari sini, mulailah jejak perjalanan hidup dari Severa Azalea.

"Aku tidak pernah punya keluarga. Kulakukan semua sendiri selama ini. Mulai dari aktivitas fisik, sampai usaha untuk memahami perasaan makhluk hidup lain, semua kupelajari sendiri." jawab Severa dengan setengah lirih.

"Awalnya dua orang guru membimbingku dalam banyak hal, selama tujuh tahun mereka mengajariku banyak tentang semesta beserta segala isinya. Tapi suatu insiden memisahkan mereka dariku."

Mautlah pemisahnya. Guru laki-laki yaitu Ayahnya, meninggal dalam kecelakaan pesawat dengan keadaan telah bercerai dari Ibu, guru perempuan sekaligus malaikat bagi Severa. Kepergian Ayah disusul oleh Ibu dan sang Adik dalam kurun waktu satu bulan. Kala itu pembunuhan berantai terjadi, mereka hanya menjadi beberapa dari banyaknya korban yang terungkap. Jasad mereka tak bersisa. Daging dan organ dalam mereka dijual ke pasar gelap, pihak kepolisian yang tidak bisa mengembalikannya hanya mengganti dengan semua uang hasil penjualan itu yang berhasil mereka sita, uang yang dititip pada paman Asep untuk dipakai bertahan hidup. Sementara tulang-tulang mereka sebagian sudah dihanyutkan entah ke bagian lautan mana, dan sebagian lagi diambil untuk keperluan penyelidikan, tapi sampai sekarang mereka tak kunjung kembalikan, alasannya hilang. Untuk uang tutup mulut, mereka memberikan ganti yang tidak sedikit.

"Kematian. Ibu, Ayah, dan Adikku pergi tanpa berpamitan. Semua yang kulalui membuatku paham betul bahwa uang memang bukan segalanya, namun segalanya tak akan berjalan jika tanpa uang. Dan pada akhirnya tersisa aku sendiri, sesuai namaku, aku anak yang berhasil bertahan hidup, Severa." ucapnya dengan gemetar saat menyebut namanya sendiri.

Mata Severa berkaca-kaca menahan banjirnya air mata.

Awalnya kehidupan Severa berjalan seperti biasa, hanya saja sepi menghiasinya dengan megah. Pada usia 8 tahun, ia menerbangkan diri ke Tiongkok untuk menemui keluarga dari Ayah, Nenek dan Kakek, Ayahnya anak tunggal, jadi ia tidak punya saudara sepupu dari Cina. Nenek dan Kakek sangat perhatian, hanya saja tidak berumur panjang. Yang tersisa sekarang hanyalah Nenek sendiri, dia tidak ikut bersama cucunya karena tak mau meninggalkan makam Kakek, cinta pertamanya yang berhasil. Sementara Severa tidak bisa meninggalkan Indonesia karena masih ada rumah yang harus dijaga. Pada saat liburan tiba, ia sering kali mengunjungi Neneknya untuk sekadar berkabar dan melepas rindu.

"Nenek yang sudah merasa terlalu tua mengurus kepemilikan semua harta kekayaannya, dan lagi-lagi tanpa persaingan, hak ahli warisnya jatuh padaku. Uang mendatangiku bersamaan dengan duka, aku tidak bisa membencinya karena tanpanya, mungkin keadaanku akan jauh lebih buruk." terbukti dari perundungan yang terjadi pada teman dekatnya, Alaric Hester.

"Jadi yah, aku berjalan sendiri menyusuri hidup. Terdengar payah, kan?"

Severa menekuk dan memeluk sepasang lututnya. Air mata membanjiri wajahnya yang sudah membengkak menahan sedih sedari tadi. Tangisnya pecah memenuhi seisi ruangan, dengan suara kecil, sampai sesegukan.

Jaya membiarkannya meluapkan emosi sebentar, ia menunggu dengan sabar sembari mengelus pundak Severa, menyuruhnya untuk mengeluarkan semua yang tertahan. Rasa rindu, rasa kehilangan, pikiran yang berat, hati hampa dan kosong, segalanya tercampur-aduk menjadi kesedihan tak berujung.

Di tengah lautan air mata Severa, Jaya merasa sesuatu telah menariknya untuk tenggelam. Kepalanya ikut pening bersamaan dengan pandangan mengabur, jantung Jaya berpacu kasar dengan waktu. Dengan pandangan samar ia melihat dirinya berdiri membelakangi seorang gadis dengan postur sebahunya, gadis itu memeluk nisan bertuliskan huruf yang tidak ia mengerti dengan kesedihan yang persis seperti yang terdapat dalam jiwa Severa. Dia mengerjapkan mata, pemandangan itu pun lenyap begitu saja.

Jurnal Refraksi (unfinished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang