18. Laksana Arunika

1 0 0
                                    

Que sera sera. Semua yang terjadi, terjadilah.

✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥

"Riki?"

Pertemuan tak terduga antara Riki dan Rajendra.

Sosok Jendra terlihat seperti cahaya yang memukau. Tak pernah Riki merasa begini sebelumnya. -Tidak, ini bukan cinta, dia masih normal, kok.- Dia menggantungkan sebuah harapan di ujung ranting, karena pohonnya sangat tinggi dan tak berdahan. Seorang anak yang dihadapkan pada depresi, ia butuh sandaran meski sandaran itu rapuh dan tak mungkin bertahan lama seperti ranting. Tapi aneh, rasanya asing, mereka bahkan tidak sering berinteraksi, belum saling mengenal, lantas apa yang meyakininya kalau yang berdiri di hadapannya ini adalah malaikat yang akan menolong?

"Benar, aku udah putus harapan sampai sampai berharap keajaiban." Riki tersenyum miris mengingat kehidupannya.

Sementara itu, hantu penasaran satu ini melihat Riki sebagai sosok yang pernah ia lihat sebelumnya. Si bodoh yang tak pernah mengakui perasaannya terhadap dunia, berusaha membohongi seisi semesta. Si gila yang hancur lembur berkali-kali, tapi memilih untuk tetap bertahan. Seseorang yang Jendra kenal dengan baik.
Bayang dari masa lalu, dirinya yang dulu.

"Aku ingat pernah begini.."

.
.
.
.
.

Pemakaman berlangsung penuh tangis palsu. Satu orang mengawali tangis karena ingin cari muka, lalu yang lainnya ikutan. Dalam dunia mereka, tidak ada yang namanya romantisme. Loyalitas hanyalah mitos belaka. Untuk memanjat naik, maka harus menginjak dan menjilat orang lain. Penuh kepalsuan dan sandiwara yang memuakkan. Kalau pun ada yang asli, bukan sebab hal yang tulus, itu hanya karena jabatan mereka telah lenyap sebagai bawahan.

Hari itu, seorang mafia bajingan pergi untuk selama-lamanya. Pemakaman di hadiri oleh ramai orang, individu, kelompok kecil, bahkan faksi dengan tujuan tertentu. Kalau dipikir-pikir sangat mustahil terjadi, tapi beginilah hidup mereka yang rela mengotori tangannya demi harta dan kuasa. Akhir riwayatnya yang diantar ke peristirahatan terakhir seolah manusia terhormat, padahal mereka cuma sampah yang sulit diuraikan. Hari itu, pada pertengahan April, Jonathan Aruan yang dikenal sebagai Tuan John dikremasi, dua jam setelah pembunuhan yang amat rapi dilancarkan padanya. Beliau meninggalkan harta, utang, dan bahaya yang mengancam pihak keluarga dan kaki tangannya.

Darah itu masih mengalir dalam tubuh sang pelaku. Bertapa ironisnya ketika seseorang yang rela membunuh orang lain demi uang, demi tahta, demi keluarga, berakhir mengenaskan dibunuh oleh putra tunggalnya sendiri.

Seorang anak yang menjadi tangan kanan dari Tuan John, Rajendra Ardika, berdiri menatap kosong pada foto makam sang majikan.

"Selamat bersenang-senang di neraka, John."

Tak ada sedih, atau pun kebahagiaan. Jendra bingung harus bereaksi apa.

Sebenarnya apa semua ini dapat dibenarkan? Tapi ada pertanyaan yang lebih penting, bagaimana cara mengakhirinya?..

Pertemuan pertama kali dengan putra tunggal John menjadi awal bencana.

Katanya di umur 7 tahun, anak-anak itu mulai menikmati masa sekolahnya bersama teman-teman, ya?

Tapi lain halnya Rajendra. Sejak awal, kelahirannya sudah menjadi tragedi. Anak yang tak diharapkan oleh seorang siswi SMA, ada di dunia sebab dosa yang dilakukan oleh dua insan muda tak bertanggung jawab. Jendra dibesarkan hingga berumur enam tahun, dengan kondisi serba kekurangan, dan tak pernah sekalipun merasakan disayang. Kondisi ekonominya sangat buruk sehingga Ibu beliau meninggalkannya sebatang kara pada ulang tahunnya yang ke tujuh.

Jurnal Refraksi (unfinished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang