Ketika Tuhan mendekatimu. Ia akan menyingkirkan orang-orang yang tidak pantas buatmu.
✧༝┉┉┉˚*❋★❋*˚┉┉┉༝˚₊· ͟͟͞͞➳❥
"Jangan kelewat batas.."
"Salah dia," ucap Jaya dengan tegas.
"Bapak, lo!"
"Gue anak gak jelas. Gak usah bawa-bawa keluarga!"
"Ya maap!"
"Ya udah!"
Severa bingung harus bagaimana. Padahal hanya masalah sepele, tapi kok melebar sampai jadi begini, sih? Matanya menahan tangis, ia tidak paham alasannya jadi lebih emosional, rasa kesal terhadap dua insan itu tak lagi bisa diluapkannya lewat kata-kata.
Melihat mata Severa yang berkaca-kaca membuat Jaya paham situasinya.
"Fine. Kita selesai." Wijaya pergi.
Melihat punggung Jaya yang semakin mengecil dari belakang menandakan ia berjalan semakin jauh dari jangkauan. Jaya pergi begitu saja, tanpa kejelasan, tanpa berpamitan. Bayangnya pun telah hilang. Suasana rumah seketika kembali dingin seperti kemarin-kemarin. Meneteslah air dari pelupuk mata Severa, menandakan reaksi atas kehancuran diri. Sekali lagi, untuk ke sekian kali, Severa merasa gagal menjaga keluarga sendiri.
Mereka bilang, 'Misery loves company' kesengsaraan sangat suka berkelompok.
"Kamu butuh waktu, ya? Tenang aja, aku ga bakal kontak kamu lagi." Yang Hao ucapkan itu adalah kalimat pamitan yang tidak pernah mau Severa dengar.
Setelah Jaya, Hao ikut pergi, dan sepertinya sulit bagi mereka untuk kembali.
Mungkin inilah mentari terbenam yang terakhir kali dirasa hangat oleh Severa.
Sendiri lagi. Bahkan lebih buruk dari sebelumnya, bayang dari Ibu tidak lagi mendatanginya, Severa jadi menyesal sudah minum obat pagi ini. Setelah keduanya keluar dari lingkungan tempat tinggal gadis itu, ia menghela napas dan mengusak rambutnya. Kepalanya pusing, dirasanya akan melayang sebentar lagi. Pandangan ikut menghitam, tak bisa melihat apa pun dengan jelas.
"Eaaa!"
Sampai suara itu terdengar.
"Hah?"
Pandangan kabur, suasana sekitar terasa baru dari yang sebelumnya, seakan-akan terbangun dari tidur yang panjang.
"Kamu pingsan seharian."
Wajah pertama yang Severa lihat adalah temannya, Alaric.
Syukurlah, karena ternyata semua itu cuma mimpi buruk. Tapi bagaimana bisa terasa begitu nyata? Satu-satunya pembeda dengan realita ialah suasana rumah yang dingin seperti dulu. Dan di kedinginan itu, sudah tidak ada lagi Ibu, tiada lagi yang mampu berdiri halangi rasa kecewa yang menyerangnya secara brutal. Seolah sesuatu yang sangat berharga telah direnggut. Padahal semua hanya mimpi di siang bolong, tidak mungkin jadi nyata..
"Ibu mau pergi?"
'Kan?
Alaric yang mendengar lirihan itu mengira bahwa Severa sedang merancau gara-gara tidur panjangnya barusan. "Ibu? Severa apa maksud-"
Ah, lagi-lagi Alaric menyaksikannya. Severa menatap kosong. Namun matanya tidak hampa, sorot mata yang binarnya menjadi lebih cerah secara tiba-tiba menandakan ada sesuatu yang berharga di hadapannya. Dan sepertinya sesuatu itu cuma bisa dilihat olehnya. Alaric memotong ucapannya sendiri, dia mendadak diam tak bersuara setelah menangkap apa yang terjadi.
"Kenapa pergi?" Sebulir air mata menetes membasahi pipi kanan Severa.
Meski cuma halusinasi, Alaric paham betul bagaimana hasrat itu masih menggebu-gebu. Mencoba melawan kenyataan, alih-alih merelakan, hati kecilnya justru meminta bayang masa lalu untuk tetap tinggal. Severa tak sudi melepas Ibu secepat ini. Penafsiran sempurna dari Alaric pada hal yang mengganjal roda waktu Severa Azalea sekarang. Severa tampak tak terpengaruh oleh matahari terbenam, mata, hati, dan seluruhnya yang ia punya terfokus pada bayang sang Ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Refraksi (unfinished)
Fantasy"Pelangi, terjadi akibat adanya pembiasan cahaya. Ianya Indah, tapi hanya sementara.. Di kehidupan ini, aku akan kurangkai aksara yang mendokumentasi refraksi itu agar abadi. Jurnal tentang aku, kamu, dan dunia kecil kita." _Severa Azalea