Ting ...
Handphone Airin bergetar, satu pesan masuk dan langsung ia baca. Sedetik kemudian ia beranjak dari sofa, mengambil tasnya yang ada di samping lalu pergi. Padahal ia baru saja pulang dari kantor, tanpa peduli rasa lelah, ia tetap pergi.
Setelah dua puluh lima menit di perjalanan, Airin sampai di sebuah rumah sakit, rumah sakit khusus pasien sakit jiwa.
Airin tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit dengan perasaan khawatir.
Ceklek
Tanpa ragu ia membuka pintu kamar bernomor 234.
"Pi, gimana keadaan Kakak?" tanya Airin.
"Syukurlah kamu sudah datang. Baru saja dia tenang dan tidur. Kondisinya memburuk, sekarang dia demam yang lumayan tinggi," jawab pria itu.
"Tapi, hanya demam biasa kan?"
"Iya, hanya saja kesehatan mentalnya kembali menurun. Kakak kamu berniat ingin bunuh diri lagi."
Airin menjambak rambutnya, lalu menghela napasnya. "Kenapa tiba-tiba bisa memburuk lagi?" tanyanya lirih.
"Kemungkinan, dia kembali teringat dengan kejadian buruk itu lagi, kejadian yang membuatnya sedih."
"Ya Allah ..." Airin mengusap kasar wajahnya sambil menatap wanita yang lebih tua tiga tahun darinya. Wanita itu tengah menutup matanya, terbaring di atas brankar. "Apa yang harus aku lakukan, Pi? Jujur, aku sedih melihat kondisi Kak Amel seperti ini."
"Sabar ya ... kami akan pantau terus kondisinya. Gak sebentar, ini memang membutuhkan waktu lama. Kamu harus tetap sabar, Nak."
"Berapa lama lagi kak Amel seperti ini? Sudah dua tahun dia sakit. Hah ..."
"Kamu harus selalu support dia, hanya kamu satu-satunya keluarga yang dia anggap ada. Kamu harus sabar, semua butuh proses. Yakin, kakak kamu pasti bisa sembuh, hanya saja masih butuh waktu yang lama." Pria itu mengusap pundak Airin.
"Iya, Pi. Terima kasih," ucap Airin. "Aku akan menjaga di sini."
"Iya, kalau ada apa-apa panggil kami ya?"
"Papi tidak pulang?" Airin menatap pria itu.
"Ah iya, sebentar lagi Papi pulang. Mami kamu sudah ngomel-ngomel karena telat pulang." Airin terkekeh mendengar ucapan pria paruh baya itu. Pria itu adalah Husein, ayah dari sahabatnya, Tasya.
"Maaf ya, Pi. Pasti gara-gara kak Amel membuat Papi telat pulang."
"Ahaha ... tidak masalah, Rin. Ya udah, papi pulang dulu. Besok papi kembali lagi. Eh, kamu nginap?"
"Nginap, gak mungkin aku ninggalin kak Amel sendiri."
Husein mengangguk. "Baguslah. Papi pulang dulu ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Airin.
Setelah Husein pergi, Airin mendekati kakaknya. Ia mengusap lembut pipi kakaknya yang tirus. Air matanya menetes tanpa diminta melihat kondisi sang kakak.
"Kak, cepat pulih ... Adel sangat membutuhkan sosok kakak, kakak gak bisa gini terus."
Wanita yang terbaring itu adalah Amelia Delima Amerta, kakak perempuan Airin yang ketiga. Ya, wanita itu kakaknya. Kakak yang sudah sekitar tiga tahun pergi dari rumah.
Tiga tahun lalu, Amelia memberitahu keluarganya bahwa ia tengah mengandung. Hal itu membuat keluarganya terkejut dengan pengakuan wanita itu. Awalnya mereka tidak percaya dengan ucapan Amelia, karena tidak mungkin Amelia melakukan sesuatu diluar batas. Amelia wanita yang baik, penurut, tidak pernah melakukan hal-hal yang aneh. Namun, setelah Amelia menunjukkan testpack yang ia gunakan dan menceritakan kenapa ia bisa hamil. Barulah mereka percaya, apa yang Amelia ucapakan bukanlah gurauan. Ia mengaku hamil karena pacarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Singkat? (END)
Teen Fiction16+ Tidak pernah Airin bayangkan sebelumnya menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Karena satu kesalahan yang membuat orang tuanya kecewa, Airin dipaksa menikah dengan pria pilihan sang bunda. Airin dipaksa ikhlas menerima takdirnya yang harus m...