KABAR MENGEJUTKAN

129 27 7
                                    


Silau cahaya lampu menerobos indra penglihatan. Perlahan, mata bulat itu terbuka. Plafon dan dinding putih salju yang sangat asing adalah yang terlihat selanjutnya. Aroma obat-obatan, seketika menelusup indra penciuman.

"Kak …" Lelaki itu yang pertama muncul dalam benak. Meski kepala masih terasa pusing, tapi Fida tetap berusaha menggerakkannya demi menemukan sosok Hilmy.

"Neng, kamu sudah sadar?" Sontak, Hilmy berdiri dan mendekat pada Fida. Tangannya seketika membelai bagian samping kepala sang istri. "Alhamdulillah." Dia mengembuskan napas lega.

"Aku … kenapa?" tanya Fida lirih. Pandangannya mendarat pada tiang dengan kantung berisi cairan merah bening di samping ranjang. Lantas, mengangkat tangannya yang ternyata telah diinfus.

"Kamu pingsan. Jangan banyak mikir dulu. Kamu istirahat aja. Atau … kamu mau makan sesuatu?"

Fida menggeleng pelan. Dia kemudian beringsut dan berusaha duduk. Tapi, seketika Hilmy menghalangi. "Jangan dulu. Lebih baik kamu berbaring."

"Ini, di mana, Kak?" Fida mengedarkan pandangan, mencoba menangkap sekeliling ruangan.

"Rumah sakit. Kamu baru dipindah dari UGD."

"Oh." Fida terdiam. Masih berusaha mengamati sekeliling. Tiba-tiba, dia meringis dengan tangan yang mendarat pada perut. "Ugh … perutku sakit banget."

Hilmy meraih air mineral yang bertengger pada nakas di sebelah ranjang. "Ini, minum dulu." Dia membantu istrinya untuk minum. "Makanya, mending istirahat, ya?" Hilmy membenahi kembali posisi kepala Fida, merapikan anak rambut yang sempat berantakan, setelah meletakkan gelas di nakas.

"Ini udah jam berapa, Kak? Acaranya bagaimana?"

"Jam dua siang. Sudah, kamu jangan banyak mikir. Acaranya nggak akan batal, kok." Hilmy merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. "Aku mau menghubungi Umi dulu, ya? Biar beliau tenang."

Fida mengangguk. Sementara Hilmy segera menghubungi Bu Nyai Marhamah. Tapi, di tengah Hilmy mengutak-atik ponsel, Fida merasakan sesuatu yang tak nyaman pada bagian perut ke bawah.

"Kak, aku, kok, kayaknya nggak pake celana dalam? Rasanya … agak basah."

Hilmy seketika membelalak. Lantas, mematikan ponsel dan menaruhnya kembali ke saku. "Tenang, Neng … lebih baik kamu istirahat dulu."

"Tapi … sebenernya aku kenapa. Kok, seperti mens rasanya?" Fida kembali meringis. "Kayak dilep. Duh …"

"Kamu—" Belum juga Hilmy menyelesaikan kalimatnya, ponselnya berdengung panjang. Dia merogoh saku. "Umi," jelas Hilmy, "Kamu mau ngomong? Biar beliau nggak khawatir."

Fida mengangguk, lantas menerima ponsel dari Hilmy dan bercakap-cakap dengan Bu Nyai Marhamah.

Usai panggilan terputus, Fida kembali menanyakan diagnosis dokter tentang keadaannya. Dan, betapa terkejutnya ia manakala Hilmy mengabari bahwa Fida telah mengalami keguguran.

"Keguguran?" Seketika, mata Fida berkaca-kaca dan detik setelahnya, aliran bening menerobos keluar. "Maafkan aku, Kak." Dia menggigit bibir bawahnya. Terisak.

Segera, Hilmy menyeka air mata dari pipi istrinya. Mendaratkan kecupan hangat di kening. "Sudah, sudah. Nggak apa-apa. Bukan salah kamu, Neng. Lagipula, masih belum sebulan. Belum rezeki aja. Kamu tenang, ya?" ucap Hilmy. Intonasinya sangat lembut menenangkan. Meskipun … tak mampu menghilangkan rasa bersalah dan kesedihan yang mencengkeram hati.

Bukankah sebelumnya, Hilmy telah memperingatkan agar menjaga kesehatan? Bukankah Hilmy memperingatkan agar tak memaksakan diri? Tapi, mengapa tak mau mendengar dan menuruti? Andai mau menurut sedikit saja, pasti keadaan tak jadi begini.

Seketika, hadir ingatan tentang nasihat-nasihat para guru.

"Bagi seorang istri, rida Allah itu, tergantung rida suami. Selagi bukan dalam kemaksiatan, manut suami adalah keharusan."

Nasihat-nasihat Hilmy sama sekali bukan kemaksiatan. Bahkan, semua itu demi Fida sendiri. Tapi, hanya karena tak ingin acara kacau—apalagi Fida sangat menggemari pentas seni—membuat Fida tak menghiraukan hal itu. Dan kini, hanya sesal yang menguasai hati.

Fida masih saja tak mampu menghilangkan batu besar yang menghimpit dada. Bahkan, ketika Hilmy berusaha menghibur dengan candaan-candaan, tetap saja sesak itu tak jua pergi. Mencengkeram erat tiap ujung hati.

Oh, pergi sudah buah cinta yang seharusnya tumbuh di rahim ibu. Entah kapan bisa dikaruniai dengan rezeki luar biasa seperti itu lagi.

Fida menginap semalam di rumah sakit dengan Hilmy yang menemani. Dia memang suami yang sangat baik; lembut, perhatian, dan telaten. Semua itu membuat perasaan sangat nyaman.

Tak hanya itu, Hilmy juga merupakan suami yang tak menganggap istri sebagai orang yang lebih rendah daripada suami—seperti yang ada kebanyakan. Buktinya, dia mau menemani Fida ke kamar mandi, bahkan membantunya bersuci. Hal yang sangat langka—sependek pengetahuan Fida. Meskipun memang, hal itu dilakukan karena tak ada satu pun santri yang membantu mereka. Bukan hanya karena Hilmy yang tak nyaman, tapi juga bertepatan dengan acara Haflatul Imtihan. Di mana merupakan acara perhelatan akbar bagi para santri.

Pagi harinya, Hilmy menyuapi Fida saat sarapan. Pun begitu, membantu menyeka tubuh istrinya dengan air hangat. Mengganti pakaian Fida agar lebih nyaman.

Sekitar jam sepuluh pagi, Neng Ida, istri Gus Sofyan datang bersama Neng Robi'ah, kakak perempuan Fida. Seorang santri putra membersamai mereka.

"Dokter sudah visite?" tanya Neng Robi'ah. Dia duduk pada kursi di sebelah ranjang, bersebelahan dengan Neng Ida.

"Belum, Neng. Mungkin sebentar lagi," jawab Hilmy yang berdiri di ujung ranjang.

"Tapi, insyaallah pulang sekarang, kan?" tanya Neng Ida. "Kalau iya, mending kita berkemas. Nanti habis kunjungan dokter, bisa segera pulang. Istirahat di rumah lebih nyaman. Bukan begitu, Dik?" Dia menatap Fida.

Fida mengangguk dan berusaha tersenyum. Tapi, dengan senyum yang sama. Dipaksakan. Ingatan terhadap keteledoran kemarin, terus saja menghantui.

Selang beberapa puluh menit, dokter melakukan visite dan menyatakan Fida boleh pulang. Lantas sepeninggal dokter, Neng Robi'ah menitahkan Kang Santri yang menunggu di luar kamar rawat, untuk segera membantu Hilmy membawa beberapa barang ke mobil.

Dia kembali masuk dan menghampiri Hilmy yang tengah memasukkan beberapa barang ke tas kain besar. "Sampean beresin yang di sini, ya Dik? Aku dan Mbak Ida ngurus administrasinya."

Hilmy yang memang menghentikan pekerjaannya ketika Neng Robi'ah mendekat, seketika tampak terkejut. "Loh, maksudnya gimana, Neng?"

"Ya, biar cepet. Aku sama Mbak Ida sudah dititahkan Abi. Ini semua wis jangkep." Neng Robi'ah menepuk shoulder bag yang tersampir di pundaknya.

"Tapi, Neng. Kulo sudah bawa, loh, buat administrasinya."

"Wis, jangan banyak interupsi. Manuto sama Abi. Ndak apa-apa. Wis, ya?" Neng Robi'ah berlalu dengan Neng Ida yang mengekori.

Sepeninggal keduanya, Hilmy melanjutkan pekerjaannya. Tapi aneh, ekspresi wajahnya tampak masam. Pun begitu, dia memasukkan pakaian ke dalam tas dengan kasar. Beberapa kali terdengar dengkusan kasar dan gerutuan yang tak bisa dipahami jelas.

"Kak," panggil Fida yang membuat Hilmy seketika menoleh, "Kak Hilmy nggak apa-apa?"

Hilmy menggeleng pelan, pun tersenyum hangat. "Nggak apa-apa, kok, Neng."

Sekitar tengah hari, mereka sampai di rumah. Di sana sudah menunggu keluarga Hilmy dari Madura. Pun Lora Ali, sahabat Hilmy, dan istrinya. Hari itu seolah menjadi semacam acara kumpul keluarga dadakan. Kabar pingsannya Fida yang disertai pendarahan, mengejutkan banyak orang.

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang