MASA LALU

96 17 2
                                    

Untunglah keadaan Hilmy tak terlalu parah. Dia sudah kembali sadar sebelum Magrib menjelang. Hanya saja, sementara dia tetap harus dirawat di ruang ICU. 

Seluruh keluarga datang sore itu hingga petang, termasuk keluarga Kiai Marzuki dari Madura. Mereka akhirnya pulang setelah mengetahui bahwa keadaan Hilmy sudah membaik, dan dipastikan esok akan dipindahkan ke ruang perawatan reguler. 

Sebenarnya, Fida bersikeras untuk menginap dan menemani Hilmy malam ini. Hanya saja, karena keadaannya yang tengah mengandung, seluruh keluarga melarangnya. Jadilah yang menjaga adalah Gus Sofyan beserta dua santri putra.

Mempertimbangkan keadaannya, Bu Nyai Sa'adah memilih untuk menemani Fida di rumahnya. Dia tidak pulang ke Madura. Seperti biasa, Bu Nyai Marhamah mengirimkan dua khadimah untuk membantu di sana.

Fida tengah beristirahat. Dia duduk di ranjang usai melaksanakan salat Isya sembari membaca artikel daring. Kali ini, dia membaca beberapa info kesehatan. Dia baru pulang dari rumah sakit sekitar jam sembilan malam. Berbagai perasaan dan pikiran berkelebat di kepala. Ingin rasanya Fida kembali lagi ke rumah sakit untuk menemani Hilmy. Tapi, seluruh keluarga kompak melarangnya. Ya, Fida tak boleh memaksakan diri. Terakhir kali dia memaksa, berujung pada kehilangan janin di kandungannya. 

Suara pintu diketuk dan panggilan lembut Bu Nyai Sa'adah, membuat Fida menoleh. Wanita paruh baya berwajah teduh itu melewati ambang pintu dengan membawa segelas susu hangat di tangannya. "Sudah enakan, Nak?"

"Umma …" Fida beringsut sembari membenahi rambutnya. Lantas duduk bersila di ranjang.

Bu Nyai Sa'adah meletakkan gelas pada nakas. Lantas, beliau duduk di bibir ranjang, sedikit menghadap pada menantunya. "Hilmy belum tahu, ya, kalau kamu isi?"

Fida menggeleng. "Belum, Umma. Abdinah belum sempat ngomong."

Perempuan paruh baya berbadan berisi itu mengembuskan napas panjang. "Sebenarnya, Hilmy dari mana, Nak? Kok tumben malah ada di luar jam segitu? Tidak ngajar?"

"Ngurus masalah percetakan, Umma. Entahlah, ada masalah apa. Dia sempat bilang ada masalah … sejenis penipuan." Fida menunduk. Nada suaranya melirih.

"Ini, percetakan Lora Ali?"

Fida menggeleng. "Bukan, Umma. Kak Hilmy mau mendirikan percetakan sendiri katanya."

Bu Nyai Sa'adah berdecak, lantas menghela napas dalam. "Apa yang dikejar Hilmy? Sudah enak-enak kerja bersama Lora Ali. Bukannya fokus mengajar saja dulu. Apalagi, dia tidak mengabari Abahnya sama sekali. Padahal dulu, setiap mau membuat keputusan, dia bermusyawarah sama Abahnya."

"Saya sendiri juga kurang tahu. Dia bilang, dia hanya ingin mengejar waktu."

Seketika, Bu Nyai Sa'adah mengernyit. "Mengejar waktu? Waktu apa?"

"Kurang tahu, Umma. Katanya, karena mau jadi ketua yayasan. Dia berharap bisa fokus tahun depan. Jadi, dia pikir dengan bikin usaha sekarang, tahun depan bisa santai dan fokus khidmah ke pesantren."

"Allahu …." Bu Nyai Sa'adah menggeleng. "Ya sudah, Nak. Kamu istirahat saja." Bu Nyai meraih gelas dari nakas dan menyerahkannya pada Fida. "Minum dulu, untuk kesehatan kamu dan bayimu."

Fida menerima gelas berisi susu hangat itu dan meminumnya hingga tandas. Rasa hangat menjalari tubuh. Alhamdulillah. Dia meraba perut bawahnya sesaat sembari melangitkan doa dan harap agar diberi kesehatan baginya, bayinya dan Hilmy. Lantas, menyerahkan kembali gelas pada mertuanya.

Jaga kesehatan kamu, ya? Apa, kamu mau ditemani di sini? Biar Umma suruh dua santri itu tidur di sini. Bagaimana?"

Seketika, Fida tersentak dan menegakkan bahu. "Jangan, Umma. Kak Hilmy melarang saya memasukkan khadimah ke kamar."

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang