Ragu-ragu, Hilmy menatap motor yang terparkir di hadapannya. Di sebelahnya, Fida berdiri menunggu sang suami mengeluarkan kuda besi itu dari garasi."Neng, pake mobil aja kali, ya?" Perlahan, Hilmy mengalihkan pandangan dari motor ke Fida.
"Hah?" Fida mengernyit. "Cuma ke pesantren doang, loh, Kak. Emang kenapa, sih? Apa jalan kaki aja?"
"Lah … ya, tambah capek nanti kamunya."
"Aku? Lah … udah hampir tiga minggu, kok. Gak sampai seminggu lagi juga aku bakal suci. Ayo, ah, keburu azan ntar. Bukannya sepuluh hari pertama ini emang tugas kamu buat jadi imam?"
Hilmy mengembuskan napas berat. "Tapi—"
"Udah kubilang, kan, aku udah nggak apa-apa. Udah sehat banget." Fida merentangkan kedua tangannya.
"Oke, deh." Hilmy mengedikkan bahu lantas mendekati motor dan menuntunnya keluar garasi.
Dia mulai melajukan motor setelah Fida duduk dalam posisi miring di boncengan. Dengan tegas, Hilmy meminta agar istrinya berpegangan erat pada pinggang. Karena kali ini, ia tak bisa menarik tangan Fida. Ia sudah dalam keadaan berwudhu.
Bimbang, Hilmy sengaja memelankan laju motor. Apakah keputusan hidup tanpa khadimah lagi merupakan pilihan tepat? Andai ada khadimah, mungkin Hilmy bisa meninggalkan Fida sementara dia melaksanakan tarawih di Masjid. Padahal sebelumnya, Hilmy juga masih tetap melaksanakan salat Magrib dan Isya berjemaah di Masjid. Tapi, suasana jalanan depan rumah pada malam hari Ramadhan yang biasanya sepi, membuatnya tak bisa meninggalkan Fida. Bulan penuh rahmat di mana muslimin berbondong-bondong memperbanyak ibadah.
Malam pertama Ramadhan, Hilmy mendapat tugas menjadi imam di masjid pesantren. Beberapa hari sebelumnya, Kiai Mudzakir memanggilnya beserta kedua iparnya.
Masih teringat jelas bagaimana pesan mertua Hilmy itu. Dia berpesan agar urusan salat tarawih ditangani anak dan menantunya. Kiai hanya akan menjadi makmum.
"... Abi ini pengin lihat kalian mulai bergotong-royong mengurus pesantren. Yunus dan Sofyan, kalian sebagai Kakak dari Hilmy, Abi harap, bisa membimbingnya untuk membantu kalian."
Kedua menantu dan putra Kiai Mudzakir mengangguk takzim mengiakan titah orangtua mereka. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran di hadapan Kiai, di atas TIKAR yang terhampar di ruang tamu ndalem. Raut bahagia tampak jelas dari binar mata dan senyum cerah Kiai malam itu. Kebetulan, mereka berkumpul untuk acara makan bersama dalam rangka tasyakuran dan Khotmil Quran menyambut Ramadhan.
"Lalu … soal yayasan pesantren yang menaungi lembaga pendidikan formal, Abi pikir, sudah saatnya Sofyan menyerahkan jabatan itu pada Hilmy. Seperti yang memang direncanakan. Mungkin bisa diproses dalam setahun. Jadi, tahun ajaran baru ini Hilmy menjadi pendamping Sofyan sebelum nantinya resmi menjabat. Setahun, insyaallah cukup. Bukankah begitu, Nak?" Kiai menatap putra sulungnya lamat-lamat.
"Inggih, Abi. Memang seharusnya sudah diperjelas mulai sekarang. Dik Hilmy punya kemampuan mumpuni dalam hal ini."
"Nah, makanya, Abi sangat bersyukur. Ternyata impian Abi menjadi kenyataan. Nanti, Sofyan bisa fokus membantu Abi mengurus pesantren sebagai ketua Dewan Pengasuh. Abi bisa pelan-pelan istirahat. Sementara Yunus, perlahan membantu Abi mengurus Jami'yah Selawat dan berbagai program amal yang sedang direncanakan." Kiai tersenyum disertai embusan napas lega.
Suasana penuh takzim dan kebahagiaan itu begitu berbeda dengan yang Hilmy rasakan. Jujur saja, dia sangat terkejut dengan ucapan Kiai. Hilmy akan diangkat menjadi ketua yayasan. Itu artinya, dia harus memikul tanggung jawab yang lebih besar. Pun begitu, apakah mampu menerima amanah itu? Tak bisa seenaknya mengambil cuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Sahaja Cinta
RomanceKarena doktrin yang diterima sejak kanak-kanak Hilmy harus menjalani pernikahan dengan perjodohan yang sayangnya berakhir buruk. Hal itu membuatnya sangat membenci perjodohan dan menyalahkan kehidupan. Tak disangka, ia bertemu dengan perempuan masa...